Rabu

KEWAJIBAN MENERAPKAN SYARIAH ISLAM SECARA KAFFAH

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI
 

*Perintah Berislam Kaffah*

 

Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk berislam secara kāffah (keseluruhan), sesuai firman-Nya :

 
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kāffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208).





*Sababun Nuzul*

Sesuai riwayat dari Ibnu Abbas RA, ayat ini turun berkaitan dengan masuk Islamnya sebagian orang Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, yang telah beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan syariat Islam yang dibawa beliau, akan tetapi mereka tetap mempertahankan keyakinan mereka pada sebagian syariat Nabi Musa AS. Misalnya, mereka tetap menghormati dan mengagungkan hari Sabtu, serta membenci daging dan susu unta.

 


Sikap mereka itu telah diingkari oleh shahabat-shahabat Rasulullah SAW lainnya. Abdulah bin Salam dan kawan-kawannya lalu berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Taurat adalah Kitabullah. Maka biarkanlah kami mengamalkannya.” Setelah itu, turunlah firman Allah surat al-Baqarah [2]: 208 di atas. (Imam Al-Nasafi, Tafsir Al-Nasafi / Madārik al-Tanzīl wa Haqā’iq al-Ta`wīl, Juz I, hlm.112).

 
*Tafsir Ayat*

 

Makna Ijmali (Pengertian Global)

 

Secara global, ayat ini mewajibkan kaum muslimin untuk mengamalkan Syariah Islam secara keseluruhan (kāffah), yaitu dalam pengertian, seorang muslim itu :

 

*Pertama*, tidak boleh mengamalkan Syariah Islam hanya sebagian saja, lalu dicampur dengan hukum di luar Syariah Islam pada sebagian yang lain.

 

*Kedua*, tidak boleh pilih-pilih (takhayyur) dalam mengamalkan Syariah Islam, yaitu hanya mengamalkan yang dirasakan cocok untuk dirinya, dan tidak mau mengamalkan yang dirasakan tidak cocok untuk dirinya.  

 

*Makna Tafshili (Pengertian Detail)*

 

Makna Pertama, bahwa tidak boleh seorang muslim mengamalkan Syariah Islam hanya sebagian saja, lalu dicampur dengan hukum di luar Syariah Islam pada sebagian yang lain.

 

 

 

Makna fissilmi. Para ulama menafsirkan kata “as-silmi” dalam dua makna; pertama, Islam, dan kedua, ketaatan (al-thā’at). Pendapat yang paling tepat (rājih), makna “as-silmi” adalah Islam, sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Imam Al-Thabari. (Imam Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, Juz III, hlm. 598).

 

 

 

Imam Al-Thabari juga menolak pendapat yang menafsirkan “as-silmi” dalam makna “perdamaian” (al-shulhu), yaitu perdamaian  antara kaum muslimin dengan orang kafir ketika mereka berperang. Alasannya, mukhāthab (pihak yang menjadi sasaran bicara dari ayat ini) adalah orang-orang beriman (orang Islam), tidak berkaitan dengan perang yang terjadi antara orang muslim dengan orang kafir. (Imam Al-Thabari, Tafsir Al-Thabari, Juz III, hlm. 598).

 

 

 

Makna Kāffah. Kāffah artinya adalah jamī’an, yakni berarti keseluruhan, atau semuanya. Dalam Bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu, kedudukan kata kāffah adalah hāl, yaitu isim yang di-i’rab nashab yang menjelaskan keadaan sesuatu, seperti keadaan subjek (fā’il), dan lain-lain.

 

 

 

Kata kāffah itu menjelaskan keadaan apa? Di sini ada dua pendapat; pertama, menjelaskan keadaan muslim, seperti pendapat Imam Nasafi, yaitu semua muslim. Jadi, ayat QS Al-Baqarah : 208, bermakna “Masuklah kamu semuanya, ke dalam Islam.” Kedua, menjelaskan keadaan Islam, yaitu semua syariah Islam, seperti pendapat Imam Thabari. Jadi ayat QS Al-Baqarah : 208, bermakna “Masuklah kamu, ke dalam Islam semuanya.”

 

 

 

Makna kāffah yang rājih (lebih kuat), adalah pendapat kedua, yakni kata kāffah menjelaskan keadaan Islam, yaitu semua syariah Islam, seperti pendapat Imam Thabari. Jadi ayat QS Al-Baqarah : 208, sehingga makna yang lebih tepat adalah “Masuklah kamu, ke dalam Islam semuanya.”

 

 

 

Alasannya, jika kita mencermati sababun nuzul-nya, maka kita akan mendapat pemahaman ayat yang jelas, bahwa yang menjadi fokus pembicaraan adalah persoalan syariah, yaitu adanya orang-orang Yahudi yang masuk Islam pada saat itu, yang ternyata tidak mengamalkan syariah Islam secara kāffah, karena masih ingin mengamalkan sebagian syariah Nabi Musa AS, misalnya ada yang tetap mengagungkan ibadah pada hari Sabtu, dan ada yang tidak mau makan daging dan susu unta.

 

 

 

Di sinilah terbukti, bahwa pengetahuan mengenai sababun nuzul, akan membantu kita untuk mendapatkan pemahaman makna ayat yang lebih tepat. Imam Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini mengatakan :

 

 

 

اَلْعِلْمُ بِالسَبَبِ يُوْرِثُ الْعِلْمَ بِالْمُسَبَّبِ

 

 

 

“Ilmu mengenai sababun nuzul, akan menghasilkan pemahaman yang lebih tepat mengenai suatu ayat.” (Imam Ibnu Taimiyyah, Muqaddimah fī Ushūl Al-Tafsīr, hlm. 47; Imam Suyuthi, Al-Itqān fi Ulūm al-Qur`ān, Juz I, hlm. 190-191).

 

 

 

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa wajib hukumnya umat Islam mengamalkan Syariah Islam secara kāffah (keseluruhan), sehingga tidak boleh kita mengamalkan Syariah Islam hanya sebagian saja (parsial), lalu sebagian lainnya kita mengamalkan hukum-hukum dari luar Syariah Islam.

 

 

 

Pengamalan Islam secara gado-gado seperti itu, hukumya haram, karena telah dicela keras dalam ayat QS Al-Baqarah : 208 juga, yaitu disebut sebagai perbuatan mengikuti langkah-langkah syetan (khutuwāt al-syaithān).

 

 

 

Makna Kedua, tidak boleh seorang muslim pilih-pilih (takhayyur) dalam mengamalkan Syariah Islam, yaitu hanya mengamalkan yang dirasakan cocok untuk dirinya dan tidak mau mengamalkan yang dirasakan tidak cocok untuk dirinya.

 

 

 

Ketidakbolehan ini dikarenakan perbuatan pilih-pilih (takhayyur) terhadap Syariah Islam itu termasuk ke dalam mengikuti langkah-langkah syetan, yang sudah dilarang oleh Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT :

 

 

 

وَلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

 

 

 

“Dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208).

 

 

 

Ketidakbolehan pilih-pilih (takhayyur) terhadap Syariah Islam itu juga didasarkan pada dalil-dalil syariah yang lain, di antaranya firman Allah SWT :

 

 

 

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ

 

 

 

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al-Ahzab : 36).

 

 

 

Juga didasarkan pada firman Allah SWT :

 

 

 

اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

 

 

 

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka akan dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah : 85).

 

 

Dan juga juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :

 

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ. رواه ابن ماجة و الحاكم، وحسنه الألباني

 

 

 

“Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil sikap pilih-pilih (takhayyur) dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam), maka niscaya Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka (sesama umat Islam).” (HR. Ibnu Majah & Al-Hakim, dihasankan oleh Al-Albani).

 

 

Renungan : Sudahkah Kita Berislam Secara Kāffah?

 

Jika ada pertanyaan,“Sudahkah kita berislam secara Kāffah?”, tentu jawabnya secara jujur, belum. Buktinya banyak sekali, misalnya di bulan Ramadhan, umat Islam alhamdulillah sudah mengamalkan perintah untuk berpuasa dalam firman Allah SWT :

 

 

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

 

 

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 183).

 

 

 

Tetapi mengapa kita tidak mengamalkan ayat yang bunyinya di awal sama dengan ayat tadi, bahkan ayat itu terletak pada surat yang sama dan hanya berselisih beberapa saja dari ayat tentang kewajiban puasa tadi? Perhatikan firman Allah SWT ini :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ

 

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178).

 

 

 

Atas dasar apa kita mengamalkan ayat yang bunyinya :

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ ۙ

 

Tetapi kita mengabaikan ayat yang bunyinya hampir sama? Yaitu ayat yang berbunyi :

 

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ

 

 

 

Atas dasar apa kita pilih-pilih ayat, ayat yang satu dipakai tapi ayat yang lain dibuang begitu saja?

 

 

Contoh yang lain, Allah SWT telah berfirman :

 

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

 

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah : 275).

 

 

 

Terkait pengamalan ayat tersebut, umat Islam alhamdulillah sudah mengamalkan kehalalan jual beli sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT tersebut. Tetapi bunyi ayat selanjutnya, yaitu ketika Allah mengharamkan riba, apakah kita umat Islam sudah mengamalkannya, dengan meninggalkan berbagai transaksi riba? Jawabannya secara jujur, belum. Ini terbukti di tengah-tengah umat Islam masih merajalela berbagai lembaga keuangan ribawi, misalnya perbankan, asuransi, pegadaian, leasing, lembaga pembiayaan (multi-finance), dan sebagainya. Ini adalah lembaga-lembaga yang jelas-jelas mempraktikkan riba, padahal Allah SWT sudah mengharamkan riba itu.

 

 

 

Jadi, atas dasar apa kita hanya mengamalkan halalnya jual beli, sebagaimana dalam firman Allah SWT :

 

 

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ

 

 

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli.” (QS Al-Baqarah : 275).

 

 

 

Sedangkan di sisi lain, kita masih membiarkan lembaga-lembaga keuangan ribawi yang mempraktikkan riba, padahal riba sudah dilarang oleh Allah SWT di dalam ayat yang sama yang berbunyi :

 

 

وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

 

 

“Padahal Allah telah mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah : 275).

 

 

Jadi atas dasar apa kita pilih-pilih penggalan ayat, ayat yang sepenggal kita amalkan, sedangkan sepenggal ayat yang lain dibuang begitu saja, padahal semuanya datang dari Allah SWT?

 

 

 

*Khatimah*

 

Di sinilah kita umat Islam wajib merenungkan kembali secara jujur, sejauh manakah pengamalan kita terhadap Syariah Islam, sudahkah kita berislam secara kāffah?

 

 

 

Ataukah kita ini sesungguhnya belum berislam secara kāffah dan bahkan secara sadar atau tidak telah mengikuti satu langkah dari sekian banyak langkah-langkah syaithan (baik syaithan dari golongan manusia maupun dari golongan jin) dengan mengamalkan Syariah Islam secara pilih-pilih? Renungkanlah, wahai umat Islam...

 

 

 

Wallāhu a’lam.

 

 

 

Yogyakarta, 10 April 2023

 

 

 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar