Oleh: KH. Drs. Hafidz Abdurrahman, MA
*Part 1*
Banyak kelompok yang mengklaim dirinya Ahlus Sunnah wal Jamaah karena klaim kebenaran dan ahli surga, sementara yang lain bukan. Sebenarnya siapakah Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apakah mazhab atau kelompok tertentu? Bagaimana ciri-cirinya?
Istilah
Ahlus Sunnah wal Jamaah sebenarnya merupakan istilah baru. Pada zaman Nabi ﷺ, istilah ini belum
dikenal. Demikian juga pada zaman Khulafaur Rasyidin, Khilafah Umayyah dan
permulaan zaman Khilafah ‘Abbasiyyah. Pada zaman itu, satu-satunya istilah yang
digunakan adalah “Muslimûn”.[1]
Istilah
Ahlus Sunnah wal Jamaah ini baru digunakan dan berkembang pada pertengahan
zaman Khilafah ‘Abbasiyah untuk membedakannya dengan “Syî’ah”, yang mulai
digunakan setelah terbunuhnya Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib di tangan kaum
Khawarij. Istilah Syî’ah mulai digunakan, khususnya setelah peristiwa tersebut,
dan setelah ‘Am al-Jamâ’ah (Tahun Rekonsiliasi) terjadi pada masa Khalifah
al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Namun,
pemilahan antara Syî’ah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sudah mulai mengerucut.
Orang yang menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini pertama kalinya
adalah Muhammad bin Sirin (w. 110 H), sebagaimana yang dituturkan oleh Muslim
dalam Muqaddimah kitab Shahîh-nya dengan sanad dari Ibn Sirin, bahwa dia
berkata, “Dulu mereka tidak mempertanyakan tentang isnâd, namun setelah terjadi
fitnah, mereka mengatakan, ‘Sebutkanlah tokoh-tokoh [perawi] kalian kepada
kami.’ Kemudian ditunjukkanlah Ahlus Sunnah, lalu hadis mereka pun diambil.
Ditunjukkan pula ahli bid’ah, lalu hadits mereka pun ditolak.”[2]
===
*Part 2*
Ahlus Sunnah
wal Jamaah sendiri artinya adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi ﷺ, dan menjaga kesatuan
jamaah (Khilafah) kaum Muslim. Ini sebagaimana sabda Nabi ﷺ yang menyatakan:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
“Kalian harus berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para
Khulafaur Rasyidin setelah aku. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan
gigi geraham.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan dinyatakan
sahih oleh al-Hakim. Dia berkata, “Berdasarkan syarat dua kitab Shahih [Bukhari
dan Muslim]”).
Orang yang
berpegang teguh pada Sunnah Nabi ﷺ
dan Sunnah Khulafaur Rasyidin—yaitu mengikuti, mengamalkan dan
menjaganya—inilah yang disebut Ahlus Sunnah. Adapun al-Jamâ’ah adalah
sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi ﷺ:
مَنْ خَلَعَ يَداً
مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، لاَ حُجَّةَ لَهُ.
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي
عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
“Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan (kepada
Imam/Khalifah), maka dia pasti menghadap Allah pada Hari Kiamat tanpa hujjah
(yang mendukungnya). Siapa saja yang mati, sementara di atas lehernya tidak ada
baiat (kepada Imam/Khalifah), maka dia mati dalam keadaan mati Jahiliah.” (HR
Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).
===
*Part 3*
Konotasi
hadis ini diperkuat oleh hadis lain:
مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ
شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ
مِنْ عُنُقِهِ
“Siapa saja yang memisahkan diri dari Jamaah kaum Muslim
(Khilafah) sejengkal saja, maka dia seperti melepaskan diri ikatan Islam dari
lehernya.” (HR Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra.).
Ini
menunjukkan kewajiban untuk menjaga Jamaah (Khilafah) yang menyatukan
kata/suara kaum Muslim. Sebaliknya, haram memisahkan diri dari jamaah tersebut.
Konotasi ini juga diperkuat oleh hadis Nabi ﷺ,
yang dituturkan oleh Hudzaifah al-Yaman.[3]
Inilah makna
Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), yang berarti manhaj (jalan/tuntunan); bukan
kelompok atau mazhab akidah, sebagaimana yang kemudian digunakan oleh
Mutakallimin, dengan konotasi Asy’ariyyah, Mâturidiyyah dan Thahâwiyyah. Dengan
konotasi yang sama, yaitu mazhab, maka istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini
kemudian dijadikan sebagai doktrin organisasi, yang kemudian disebut Doktrin
Aswaja, singkatan dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.
===
*Part 4*
Doktrin ini
lebih sempit lagi, karena membatasi pandangan keagamaan di bidang akidah
berdasarkan Asy’ariyyah dan Mâturidiyyah; di bidang fikih mengikuti Madzâhib
al-Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali); di bidang tasawuf mengikuti
Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) atau Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Di luar
itu, dianggap tidak sama dengan kelompoknya, atau bukan Aswaja. Sebut saja, Ibn
Taimiyyah (w. 728 H) dengan murid-muridnya, seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah
(w. 751 H) dan Ibn Katsir (w. 774 H), dengan Salafi-nya, yang notabene
mengikuti mazhab Hanbali. Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H), dengan Dhâhiri-nya.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) dengan Hizb at-Tahrîr-nya.
Semuanya, oleh penganut Doktrin Aswaja ini, tidak dianggap sebagai Ahlus Sunnah
wal Jamaah karena dianggap berbeda dengan mereka.
Ini akibat
penyempitan konotasi Ahlus Sunnah wal Jamaah berdasarkan kelompok atau mazhab
mereka. Padahal istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini sebenarnya memiliki cakupan
yang lebih luas, meliputi siapa saja yang mengikuti sunah Nabi ﷺ, dan menjaga Jamaah
(Khilafah) kaum Muslim, bukan hanya kelompok atau mazhab tertentu.
Dalam
akidah, mereka mengikuti manhaj al-Qur’an, bukan ahli kalam. Karena itu akidah
mereka kokoh, jauh dari perdebatan. Mereka menggunakan dalil qath’i, bukan
dalil zhanni. Mereka juga meninggalkan pendetilan cabang yang tidak dinyatakan
oleh dalil, baik dengan menggunakan mantik maupun dalil zhanni. Karena itu,
dalam konteks ini, mazhab Ahlus Sunnah, dianggap tidak berbeda dengan
Muktazilah dan Jabariah karena sama-sama menggunakan manhaj Mutakallimin. Ahlus
Sunnah juga membahas hal yang sama sebagaimana ahli kalam yang lain. Misalnya,
membahas sifat Allah, apakah sama atau berbeda dengan zat-Nya. Padahal, ini
tidak pernah dibahas oleh Nabi ﷺ,
para Sahabat dan generasi sebelumnya.
Karena
itulah, baik al-Iji (w. 756 H)[4] maupun Ibn Hazm (w. 456 H), sepakat menyebut
Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), sebagai Jabariyyah Mutawasithah (Jabariyah
Moderat).[5] Dengan demikian, istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mereka
gunakan itu hanya klaim belaka; termasuk klaim mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal
dalam berakidah,[6] padahal Imam Ahmad tidak pernah menyatakan apa yang mereka
katakan. Misal, kemungkinan melihat Allah di dunia, jelas tidak pernah
dinyatakan oleh Imam Ahmad.
===
*Part 5*
Lebih parah
lagi, Doktrin Aswaja ini juga digunakan untuk mendukung penguasa yang
menerapkan paham dan hukum kufur. Doktrin ini pernah digunakan untuk mendukung
Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme), dengan justifikasi taat pada
perintah ulî al-amri bi ad-dharûrati as-syaukah. Doktrin yang sama juga
digunakan untuk mempertahankan rezim otoriter, demokrasi dan negara sekular. Di
sisi lain, doktrin ini digunakan untuk menyerang perjuangan menerapkan syariah
Islam dan menegakkan Khilafah.
Harus
dicatat, bahwa ciri Ahlus Sunnah wal Jamaah memang menjaga Jamaah kaum Muslim,
sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Nabi ﷺ di
atas. Namun, jamaah yang dimaksud di sini adalah Khilafah yang menerapkan
syariah Islam secara kaffah. Meski namanya Khilafah, dan penguasanya disebut
Khalifah, kalau terbukti melanggar hukum syariah, tetap wajib dikoreksi.
Tindakan Sayidina Husain bin ‘Ali (w. 65 H) ketika berjuang mengembalikan
Khilafah agar sesuai dengan tuntunan kakeknya, Nabi Muhammad ﷺ, saat melawan Yazid bin
Mu’awiyah adalah contoh. Hal yang sama dilakukan oleh ‘Abdullah bin Zubair (w.
73 H).
Pertanyaannya,
jika benar Doktrin Aswaja ini tidak boleh melakukan perlawanan terhadap
penguasa yang melanggar hukum syariah, bahkan kalau dia terbukti telah
menerapkan hukum Kufur, berarti Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu
Nabi ﷺ, dan Sayyidina ‘Abdullah
bin Zubair, cucu Abu Bakar as-Shiddiq ra., bukan Ahlus Sunnah wal Jamaah karena
jelas-jelas mereka mengangkat senjata untuk mengembalikan Khilafah saat itu
agar sesuai dengan Minhaj an-Nubuwwah.
Karena itu
umat Islam harus mewaspadai penyesatan opini (tadhlîl fikrî) yang dilakukan
oleh oknum-oknum tertentu, baik yang menggunakan baju intelektual, ulama maupun
organisasi, demi mempertahankan rezim dan negara sekular, serta menghalangi dan
memusuhi perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berdasarkan Minhaj
an-Nubuwwah.
Ketika upaya
ini sudah terbongkar, dan dukungan pada perjuangan untuk mengembalikan Khilafah
ini pun telah menjadi opini umum, maka serangannya pun mereka arahkan bukan
pada gagasan Khilafahnya, tetapi kepada para pengembannya. Karena itu mereka
pun mengatakan, “Kami setuju dengan Khilafah. Menegakkan Khilafah adalah wajib.
Namun, kami tidak setuju dengan Hizbut Tahrir.” Dengan berbagai dalih, bahwa
Hizbut Tahrir itu begini dan begitu.
Pernyataan
seperti ini sesungguhnya sama tujuannya, meski tampak berbeda. Karena
orang-orang Kafir dan antek-antek mereka tahu, bahwa Hizbut Tahrirlah yang
mengembalikan kesadaran umat tentang Khilafah. Hizbut Tahrirlah yang mempunyai
konsep (master plan) dan peta jalan (road map) yang jelas menuju ke sana. Jadi,
kalau dukungan umat kepada Hizbut Tahrir berhasil mereka tarik, maka Khilafah
yang mengancam kepentingan mereka itu pun tidak akan pernah ada.
Dengan kata
lain, keberhasilan melumpuhkan Hizbut Tahrir berarti keberhasilan mengaborsi
lahirnya kembali Khilafah. WalLahu a’lam.
===
Catatan
kaki:
[2] Lihat:
Muslim, Shahîh Muslim, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1992, I/79; Ahmad bin
Hanbal, al-‘Ilal wa Ma’rifati al-Rijâl, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, II/559;
as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, 1994,
I/53.
[3] Lihat:
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, hadits No. 4065, Dâr Ihya’ at-Turats al-‘Arabi,
Beirut, t.t., II/1317.
[4] Nama
lengkapnya adalah Abu al-Fadhl ‘Adhuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Iji
as-Syirazi as-Syafi’i. Lahir di kampung Ij, wilayah Siraz. Dia menimba ilmu
dari Zainuddin an-Nahki, murid Imam Nashiruddin al-Baidhawi. Dia menjadi qadhi
di Irak, pada masa Sultan Abi Sa’id ad-Darqandi Bahadur (736 H). Menjadi qadhi
di beberapa wilayah Timur Khilafah ‘Abbasiyah, yang meliputi Mousul, Sanjar,
Jazirah, Diyar Bakr dan Raha. Tinggal di Sulthaniyyah kemudian Siraz. Sempat
dipenjara pada masa pemerintahan Bani Mudhaffar, ketika wilayah Kirman dijabat
oleh Mubarizuddin Muhammad (713 H). Dia mempunyai beberapa karya monumental,
seperti al-Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm.
[5] Lihat:
Ibn Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. II, 1999, II/86 dan 142; Mohamad Maghfur Wachid, MA,
Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Penerbit al-Izzah,
Bangil, cet. I, 2002, 43.
[6]
Al-Asy’ari, Al-Ibânah, hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar