Sabtu

KOMUNISME RONTOK DI HADAPAN TAQIYUDDIN AN-NABHANI [2]


Oleh: Ustadz Agus Trisa

Kisah yang diceritakan oleh Syaikh Thalib Awadhallah melalui memoar Abu Arqam (lihat tulisan sebelum ini yang berjudul Komunisme Rontok di Hadapan Taqiyuddin An-Nabhani [1]), kita bisa memahami betapa dalam dan kokoh pemahaman Taqiyuddin An-Nabhani dalam mengkritisi dan membantah ideologi-ideologi dunia, sampai-sampai al-Ja’bari si pengikut komunisme bertekuk lutut menanggalkan komunismenya. Tentu muncul pertanyaan, seperti apa pemahaman Taqiyuddin An-Nabhani sampai-sampai seorang komunis mampu meninggalkan komunismenya?


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mengetahui sedikit siapa Taqiyuddin An-Nabhani. Dia adalah adalah seorang ulama, hakim (qadhi), pemikir, politikus, dan aktivis dakwah Islam. Taqiyuddin An-Nabhani (1901 – 1977 M) adalah cucu dari ulama besar Kekhalifahan Utsmaniyah, Syaikh Yusuf An-Nabhani. Taqiyuddin menyelesaikan pendidikannya di Universitas al-Azhar, Mesir dan dinobatkan sebagai salah seorang ulama alumni al-Azhar terbaik dan dimuat dalam situs memoar al-Azhar. Semasa hidup pernah menjabat sebagai qadhi atau hakim di Mahkamah Isti’naf (Mahkamah Banding) di al-Quds, Palestina. Sebagai seorang politikus, Taqiyuddin An-Nabhani telah mendirikan partai politik, Hizbut Tahrir. Dan sebagai seorang pemikir, beliau memiliki begitu banyak produk pemikiran dan ijtihad, baik dalam bidang politik, ekonomi, ideologi, juga dalam bidang fikih dan ushul fikih. Biografi lebih lengkap, bisa dibaca dalam salah satu bab di buku Hizbut Tahrir: Tsaqafah dan Manhajnya dalam Menegakkan Negara Khilafah Islamiyah.

Kembali pada pertanyaan di atas, apa sebenarnya argumen Taqiyuddin An-Nabhani sehingga mampu membuat seorang komunis bertekuk lutut kepadanya? Apa saja kritik-kritik beliau terhadap ideologi komunisme sehingga pada masa kejayaan ideologi ini (tahun 1950-an sampai 1960-an), partai komunis di Palestina melarang para aktivisnya berdebat dengan para pengikut Taqiyuddin An-Nabhani dalam masalah akidah atau keyakinan?

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tahu betul, bahwa untuk membongkar kebobrokan ideologi sosialisme-komunis, tidak bisa hanya dengan menyodorkan dalil-dalil syariah. Sebab, orang-orang pengikut sosialisme-komunisme, mereka menentang keberadaan Sang Pencipta, sehingga sebanyak apa pun dalil disodorkan, justru itu akan ditertawakan. Maka, cara untuk melumpuhkan pandangan mereka, adalah dengan memperlihatkan fakta-fakta yang ada.

Kritik Taqiyuddin An-Nabhani terhadap ideologi ini dimulai dari konsep yang paling mendasar, yaitu asas dibangunnya ideologi ini. Asas dari ideologi sosialisme-komunisme adalah materialisme. Dalam buku Peraturan Hidup dalam Islam (Nizham al-Islam) pada bab Kepemimpinan Berpikir dalam Islam (al-Qiyadatu al-Fikriyatu fi al-Islam), Taqiyuddin An-Nabhani mengkritik pandangan sosialis-komunis yang menyatakan bahwa materi (semua perkara yang terindera, yaitu alam semesta, manusia, dan kehidupan), asalnya adalah juga dari materi dan kelak akan berakhir menjadi materi. Begitulah siklus materialisme yang lebih populer disebut dengan teori evolusi materi atau dialektika materialisme (materialism dialectic).

Materialisme dialektik menganggap bahwa “materi” hanya akan berubah menjadi “materi baru” jika berpadu dengan “materi yang lain”. Dalam teori ini, materi awal disebut dengan “tesis”, sementara materi yang dipadukan disebut dengan “antitesis”. Ketika tesis dan antitesis ini berpadu atau bercampur atau berbenturan, maka akan menghasilkan materi baru yang disebut dengan “sintesis”. Sintesis ini, kelak akan menjadi tesis pula. Dan agar menjadi sintesis yang baru, maka dibutuhkan antitesis lain lagi. Begitu seterusnya, persis orang berdialog; ada pernyataan, ada respon, begitu seterusnya. Karena itulah teori ini disebut dengan dialektika materialisme.

Contohnya adalah bayi yang baru lahir dari pasangan laki-laki dan perempuan. Masing-masing disebut dengan tesis dan antitesis. Sedangkan bayi yang dilahirkan itulah yang disebut dengan sintesis. Atau, contoh lain bahwa kulit yang mengelupas dan proses terbentuknya kulit baru. Di dalam struktur sel yang menyusun kulit terdapat protoplasma dan sitoplasma yang saling bertarung. Sitoplasma dan protoplasma inilah yang merupakan perbenturan antara tesis dan antitesis sehingga terbentuk kulit baru setelah kulit yang lama mengelupas karena matinya sel yang ada di dalamnya. Kulit baru inilah yang disebut sintesis. Jadi, dalam pandangan ideologi sosialis-komunis, siklus kehidupan di dunia ini tidak lepas dari teori evolusi materi atau dialektika materialisme. Bukan karena kehidupan ini diciptakan oleh Sang Pencipta. Maka, mereka tidak mengenal konsep agama. Bahkan, menurut mereka agama disamakan dengan candu yang hanya membuat orang terlena dengan ‘janji-janji Tuhan’ sehingga malas untuk bekerja.

Pemahaman ini jelas keliru. Mengapa? Sebab, tidak setiap peristiwa di dunia ini semata-mata merupakan perpaduan antara tesis, antitesis, lalu menjadi sintesis. Tidak. Tentu ada juga faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut. Artinya, ada faktor lain di luar ketiganya yang turut berperan. Misalnya adalah kasus kulit yang mengelupas. Faktor penyebabnya, bukan semata-mata karena protoplasma dan sitoplasma. Tetapi bisa juga bisa karena faktor di luar itu, misalnya kondisi cuaca atau kekurangan nutrisi yang bisa mempengaruhi kulit sehingga mengelupas, dan terbentuknya kulit yang baru bisa disebabkan karena meningkatnya nutrisi untuk kulit. Jadi, bukan semata-mata terjadi benturan antara sitoplasma dengan protoplasma, tetapi ada faktor di luar ketiganya (tesis, antitesis, sintesis) yang turut berperan.

Contoh lain tentang bayi yang lahir dari pasangan laki-laki dan perempuan. Kenyataannya, ada juga laki-laki dan perempuan yang melakukan aktivitas seksual tetapi tidak menghasilkan keturunan. Atau, terkadang bayi yang dikandung meninggal dunia. Lantas, siapa yang menentukan apakah aktivitas seksual pria dan wanita akan menghasilkan keturunan atau tidak? Siapa yang menentukan apakah bayi yang lahir, hidup ataukah tidak? Di sinilah pentingnya memahami adanya faktor di luar nalar manusia, yang bersifat metafisik. Tidak terindera, tetapi kenyataannya ada. Bahkan, kejadian semacam ini menyangkal adanya laki-laki dna perempuan yang disamakan dengan tesis dan antitesis, sedangkan bayi adalah sintesis.

Apakah ada hal semacam ini? Apakah ada perkara-perkara yang tidak terindera tetapi realitasnya ada? Jawabannya jelas ada. Kita bisa melihat fenomena listrik dari adanya indikasi yang terlihat, seperti nyala lampu atau mesin yang berputar. Sekalipun kita tidak bisa mengindera wujud listriknya secara fisik (mungkin tertutup karet kabel), tetapi kenyataannya listrik itu ada, karena kita bisa melihat pengaruh yang ditimbulkannya, yaitu lampu yang menyala atau mesin yang berputar. Contoh yang lain misalnya rasa sedih atau rasa cinta. Kita bisa melihat adanya rasa sedih dan rasa cinta, bukan dari rasa sedih atau rasa cintanya itu sendiri, melainkan dari pengaruh yang ditimbulkannya. Apa yaitu? Yaitu tangisan atau rasa senang. Rasa sedih atau rasa cintanya itu sendiri tidak dapat diindera. Tetapi kenyataannya ada.

Contoh yang lain, misalnya kita pulang bepergian. Kita melihat pohon-pohon basah, jalanan basah, rumah basah. Ini menandakan bahwa hujan telah turun. Kita bisa berkesimpulan demikian, sekalipun kita tidak melihat hujannya, melainkan dari bekas-bekas atau pengaruh yang ditimbulkannya, yaitu pepohonan basah dan rumah-rumah yang basah. Atau, jika saat ini kita berada di dalam rumah, kemudian kita mendengar suara pesawat yang melintas di atas atap rumah kita. Sekalipun kita tidak melihat pesawatnya secara langsung karena terhalang oleh atap rumah, tetapi kita bisa memahami bahwa pesawat melintas dari pengaruh yang ditimbulkannya, yaitu suara pesawat.

Semua contoh di atas, merupakan bukti, bahwa teori evolusi materi dalam kehidupan, hanyalah omong kosong Marx cs yang sama sekali tidak ada realitasnya. Yang benar, kenyataannya, di dunia ini ada perkara-perkara yang sekalipun tidak terindera, tetapi realitasnya ada. Demikian pula dengan kehidupan ini. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan, kehidupan ini ada, tidak terbentuk dari evolusi materi, melainkan ada karena diciptakan oleh Sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain ini apa atau siapa?

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjawabnya dalam bab lain di buku Nizham al-Islam, yaitu pada bab Thariq al-Iman (Jalan Menuju Iman). Dalam bab tersebut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa tiga hal yang dapat diindera manusia, yaitu alam semesta, manusia, dan kehidupan; ketiganya memiliki sifat lemah, terbatas, dan membutuhkan. Manusia butuh makan untuk hidup. Usia kehidupan manusia juga terbatas oleh waktu. Manusia berdarah jika kena pisau. Ini kelemahan manusia. Kehidupan pun sama. Hidup itu berakhir, jika memang sudah waktunya berakhir (mati). Demikian pula alam semesta. Sehebat apa pun sinar matahari, tetap saja sinarnya hanya mampu menjangkau sebagian wilayah bumi, dan tidak keseluruhannya. Sedahsyat apa pun hujan badai yang menakutkan, tetap akan berakhir jika kekuatannya sudah hilang. Ini semua bukti bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan bersifat lemah, terbatas, dan membutuhkan. Ini hal yang jelas, pasti, dan tidak mungkin diingkari. Karena sifatnya yang demikian itu, maka alam semesta, manusia, kehidupan; pastilah tidak bersifat azali (abadi, tidak berawal dan tidak berakhir). Jika ketiganya bersifat azali, tentu ketiganya tidak akan memiliki kelemahan dan keterbatasan. Maka kesimpulannya jelas, bahwa ketiganya (alam semesta, manusia, dan kehidupan), ada bukan karena berevolusi, tetapi ada karena diciptakan.

Siapa yang menciptakan? Jawabannya, yang menciptakan ini tentu yang tidak memiliki sifat sebagaimana yang dimiliki alam semesta, manusia dan kehidupan. Jika alam semesta manusia, dan kehidupan memiliki sifat lemah, terbatas, dan tidak membutuhkan; maka yang menciptakan ketiganya tentu yang memiliki sifat tidak lemah, tidak memiliki keterbatasan, dan tidak membutuhkan, dialah yang disebut dengan Sang Pencipta (Al-Khaliq), sedangkan alam semesta, manusia, dan kehidupan disebut dengan makhluk. Untuk menentukan “siapa” Al-Khaliq, maka hanya ada tiga hipotesis. Pertama, Al-Khaliq ini diciptakan oleh yang lain. Hipotesis kedua, Al-Khaliq ini menciptakan dirinya sendiri dan pada saat bersamaan juga menciptakan makhluk. Dan hipotesis ketiga, Al-Khaliq ini bersifat azali atau tidak berawal dan tidak berakhir. Hipotesis pertama dan kedua, jelas tertolak. Sebab, jika benar, maka Al-Khaliq memiliki sifat sama seperti sifat makhluk (lemah, terbatas, membutuhkan). Karena itu, hanya ada satu hipotesis yang benar, yaitu hipotesis ketiga bahwa Al-Khaliq bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Dari sini bisa dibuktikan secara akal sehat, hanya Allah-lah yang memiliki sifat demikian. Bukan yang lain.

Sifat Allah yang tidak memiliki kelemahan, tidak memiliki keterbatasan, dan tidak membutuhkan yang lain, ini bisa disebut dengan istilah lain yang sederhana, yaitu Maha Sempurna. Sifat Maha Sempurna inilah yang melekat pada diri-Nya, sehingga wahyu yang diturunkan kepada para utusan-Nya (para nabi dan rasul), serta apa yang dijelaskan dalam kitab suci, adalah benar adanya dan itu merupakan sebuah kebenaran. Maka, semua yang terdapat dalam Al-Quran (kitab suci) maupun sunah rasul-Nya, semuanya adalah wahyu Allah yang harus dilaksanakan (jika berupa perintah) dan harus ditinggalkan (jika berupa larangan), sebagai konsekuensi logis dari pengakuan atau meyakini atas adanya Sang Pencipta (Al-Khaliq). Terlebih lagi, penerapan dari tata aturan hidup hukum-hukum (perintah dan larangan Allah) akan membawa manusia pada kehidupan yang benar (karena datang dari Zat Yang Maha Benar) dan tentu pada kehidupan yang baik (karena berasal dari Zat Yang Maha Baik).

Ini berbeda dengan setiap aturan yang berasal dari ideologi sosialisme-komunisme. Setiap aturan yang berasal dari ideologi ini tidak akan mengandung aspek kerohanian. Seluruhnya hanya berkonsekuensi materi. Mereka tidak mengenal agama, karena itu mereka tidak mengenal pahala dan dosa. Batas-batas perbuatan hanya didasarkan pada legal dan ilegalnya tindakan manusia. Padahal, legal dan ilegalnya tindakan manusia, sangat bergantung pada manusia yang membuat batasan tersebut. Dan manusia, selalu dipenuhi kepentingan-kepentingan dalam dirinya. Dalam konteks ideologi sosialisme-komunisme, kepentingan yang dimaksud hanyalah kepentingan negara sebagai pihak yang dianggap paling berwenang mengatur masyarakat. Khusus tentang ini insya Allah akan dibahas pada tulisan “Komunisme Rontok di Hadapan Taqiyuddin An-Nabhani [3]”. Jadi, ideologi sosialisme-komunsime merupakan ideologi yang berbahaya, bukan saja bagi manusia tetapi juga bagi alam semesta dan kehidupan. Sebab, ideologi ini telah jelas-jelas menjauhkan manusia dari agama, sehingga seluruh kebijakan-kebijakan yang lahir dari ideologi ini minus aspek kerohanian, tidak kenal pahala dan dosa. Asal dirasa legal oleh negara, maka diberlakukan. Jika dinilai ilegal, maka akan dihancurkan oleh negara. Di sinilah bahayanya ideologi ini untuk keberadaan umat manusia.

Selain itu, beragama adalah salah satu naluri manusia yang secara alami ada dalam diri manusia. Manusia dari sejak zaman Firaun, Namrudz, sampai dengan Justin Bieber; sepanjang kurun waktu tersebut selalu memiliki ‘Tuhan’ yang mereka muliakan, yang mereka kultuskan. Ada yang menyembah api, ada yang menyembah bintang-bintang, ada yang menyembah berhala (patung), ada yang menyembah matahari, ada yang menyembah roh nenek moyang (animisme), ada yang menyembah benda-benda gaib (dinamisme), ada yang memuliakan binatang-binatang tertentu (totemisme), ada juga yang menyembah dewa-dewa (politheisme), dan sebagainya. Bahkan sebagian praktik penyembahan semacam itu masih terlihat pada masa sekarang. Pun demikian ada juga manusia yang menyembah sesama manusia, seperti Friaun yang dituhankan pada masanya. Manusia melakukan penyembahan, pengkultusan, pemuliaan, karena manusia senantiasa merasa lemah ketika menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak dipahaminya (di luar nalar manusia), atau peristiwa-peristiwa dahsyat. Maka, manusia berusaha mencari sesuatu yang bisa membuat dirinya aman dan tenteram. Saat itulah manusia kemudian melakukan pemuliaan atau penyembahan. Maka, ketika konsep beragama ini coba disingkirkan oleh ideologi sosialisme-komunisme, jelas hal tersebut bertentangan dengan fitrah manusia. Karena itu, ideologi sosialisme-komunisme ini bukan hanya berbahaya bagi manusia, tetapi juga memang tidak sesuai dengan kodrat penciptaan manusia.

Inilah asas dari ideologi komunisme. Bagi siapa saja yang mempelajari ideologi sosialisme-komunisme dari sisi asasnya, maka mereka akan menemukan pemahaman semacam ini. Tetapi bagi yang mempelajari sosialisme-komunisme hanya dari satu sisi yang lain, misalnya hanya mempelajari konsep ekonominya saja atau konsep perubahan masyarakatnya saja, maka dia tidak akan menjumpai perkara semacam ini. Karena itulah, tidak sedikit orang yang beragama, mereka juga memperjuangkan komunisme. Misalnya di Indonesia, tidak sedikit orang yang beragama Islam, atau menganut agama lain, tetapi ternyata juga aktif di Partai Komunis Indonesia. Bisa jadi, itu karena mereka tidak mempelajari sosialisme-komunisme dari akarnya. Melainkan mempelajari komunisme dari sisi perlawanannya terhadap ideologi kapitalisme.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan; ketiganya ada karena diciptakan oleh Allah. Bukan ada karena hasil dari dialektika materialisme. Bahkan dalam banyak perkara, dialektika materialisme itu justru bertentangan dengan fakta. Adanya Allah Sang Pencipta, dapat dibuktikan, bukan (bahkan tidak perlu) dengan melihat Zat atau Wujud-Nya. Melainkan dibuktikan dengan melihat akibat-akibat atau pengaruh yang terlihat. Apa itu? Yaitu keberadaan alam semesta, manusia, dan kehidupan. Artinya, hanya dengan melakukan pengamatan secara mendalam terhadap alam semesta, manusia, dan kehidupan saja, kita akan bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya ada karena ada Allah yang Maha Menciptakan. Bahkan, tidak mungkin Allah itu tidak ada. Pasti adanya. Karena itu, ideologi sosialisme-komunisme selain bertentangan dengan akal, juga bertentangan dengan fitrah manusia. Sehingga, asas materialisme yang menjadi pondasi ideologi sosialisme-komunisme, tidak lain hanyalah omong kosong dari cara berpikir dangkal yang tidak patut diikuti siapa pun manusia yang berakal.

 اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Wallahu a’lam bish shawab.

1 komentar:

  1. mantab... maen juga ke blog en ya..

    https://www.bara.web.id/

    BalasHapus