Seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib.
Dalil-dalil tentang kewajiban mengadakan khilafah dan menegakkannya bisa dilihat rinciannya sebagai berikut:
*1. Dalil Alquran*
Allah SWT berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…” [TQS al-Baqarah [2]: 30].
Imam al-Qurthubi [w. 671 H], ahli tafsir yang sangat otoritatif, menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat khalifah.” Bahkan, dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariah) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” [Lihat, Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/264].
Dalil Alquran lainnya, antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll [Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49].
*2. Dalil as-Sunnah*
Di antaranya sabda Rasulullah SAW:
“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” [HR Muslim].
Berdasarkan hadits di atas, menurut Syeikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib [Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49].
Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda SAW harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi].
Nabi bersabda:
“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim]
*3. Dalil Ijmak Sahabat*
Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah Alquran dan as-Sunnah—sangatlah kuat, bahkan merupakan dalil yang qath’i (pasti). Para ulama ushul menyatakan, bahwa menolak ijmak sahabat bisa menyebabkan seseorang murtad dari Islam. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan:
“Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan pondasi agama ini.” [Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296].
Karena itu, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan khilafah tidak boleh diabaikan, atau dicampakkan seakan tidak berharga, karena bukan Alquran atau as-Sunnah. Padahal, Ijmak Sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap [Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124].
Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:
“Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” [Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7].
Lebih dari itu, menurut Syeikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah:
“Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui, bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah khilafah.
Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dasar atas kewajiban menegakkan khilafah [Lihat, Syeikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49].
*4. Kesepakatan Ulama Aswaja*(Bukan Aswaja Topeng, Munafik dan Liberal)
Berdasarkan dalil-dalil di atas —dan masih banyak dalil lainnya— yang sangat jelas, seluruh ulama Aswaja, khususnya imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali), sepakat, bahwa adanya khilafah, dan menegakkannya ketika tidak ada, hukumnya wajib. Syeikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) menuturkan,
“Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” [Lihat, Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz V/416].
Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” [Ibn Hajar, Fath al-Bâri, Juz XII/205].
Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn [Lihat, Imam Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; al-‘Allamah al-Qadhi Syeikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248].
Ulama Nusantara, Syeikh Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan khilafah.
Bahkan bab tentang khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. [
Tidak ada komentar:
Posting Komentar