Rabu

Hakikat Khilafah


Istilah Khilafah, Imamah dan Imaratul Mu`minin sebenarnya sama saja maknanya. Dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili menyatakan:


الإمامة العظمى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها تؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا

Imâmah ‘udzma atau Khilafah atau Imâratul Mu’minîn semua mengantarkan pada satu makna, dan menunjukkan posisi yang satu, yakni otoritas pemerintahan yang tertinggi

Muhammad Najib Al-Muthî’iy, dalam takmilah (catatan pelengkap) yang dibuatnya untuk kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (Juz 19/191), Al-Muthî’iy menyatakan:

والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا

Khilafah, Imamah, dan Imaratul Mu`minin adalah sinonim, yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.

Imâmul Haramayn al-Juwaini (w. 478 H), dalam kitabnya Ghiyâts al-Umam, menyatakan:

الْإِمَامَةُ رِيَاسَةٌ تَامَّةٌ، وَزَعَامَةٌ عَامَّةٌ، تَتَعَلَّقُ بِالْخَاصَّةِ وَالْعَامَّةِ، فِي مُهِمَّاتِ الدِّينِ وَالدُّنْيَا.

“Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh dan kepemimpinan umum yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum, dalam hal kepentingan-kepentingan agama dan dunia.” [1]

Imam al-Mawardi (w. 450 H) menyatakan:

الإمامة: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

”Imamah itu menduduki posisi sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama serta dan mengatur dunia”[2]

Adapun Al-Imam Muhammad ar-Ramli (w. 1004 H), dalam kitabnya Nihâyat al-Muhtâj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, hal 289 menyatakan:

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الْاِمَامُ الْاَعْظَمُ، اَلْقَائِمُ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِىْ حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

”Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki posisi sebagai pengganti kenabian dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.” [3]

Dari semua penjelasan diatas, jelaslah bahwa khilafah bukanlah negara yang memisahkan antara Islam dengan kehidupan dunia (negara sekuler), justru khilafah adalah negara yang akan menjalankan hukum-hukum syara’ dalam menjalankan dan mengatur kehidupan masyarakat. Jadi, hakikat khilafah adalah (1) penegakan hukum syari’ah dalam setiap aspek kehidupan, dan (2) ukhuwwah/persaudaraan sesama muslim sedunia, karena khilafah bersifat umum untuk seluruh umat Islam.

Kewajiban Menegakkan Khilafah

Menurut Ahlussunnah, kewajiban mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban berdasarkan syara’ bukan berdasarkan akal. Imam an Nawawi (w. 676 H) dalam Syarh Shohih Muslim (12/205) menulis :

وَاَجْمَعُوْا عَلَى اَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ، وَوُجُوْبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ

Dan mereka (kaum muslimin) sepakat bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum muslimin mengangkat Khalifah, dan kewajiban (mengangkat khalifah ini) ditetapkan dengan syara’ bukan dengan akal.

Imam an Nawawi juga mengaitkan kewajiban mewujudkan Imamah (Khilafah) ini dengan kewajiban membentuk peradilan Islam,

لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا

“Adanya imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak bagi orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya merupakan suatu keharusan bagi umat Islam”.[4]

Bahkan Ibnu Hajar Al Haytami Al Makki Asy Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya, as Shawâiq al Muhriqahjuz 1 hal 25 menyebut bahwa penegakan khilafah adalah kewajiban terpenting,

اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات

“ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para shahabat r.a telah ber ijma’ (sepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting”.

Ungkapan bahwa khilafah merupakan ahammu al wâjibât (kewajiban terpenting) juga dinyatakan oleh Imam Hasan al-‘Aththar dalam Hasyiyah Jam’u al-Jawami’, Juz II/487. Imam as-Safarinial-Hambali dalam kitabnya, Lawâmi’ al-Anwâr,Juz II/419. Imam Syamsuddinar-Ramli dalam Ghâyah al-Bayân: Syarhu Zubad Ibn Ruslân, hal 23.

Memang benar ada “perbedaan pendapat” tentang wajibnya khilafah, namun pendapat yang menyatakan tidak wajib tersebut sangat lemah, serta tidak wajibnya bersyarat, bukan mutlak tidak wajib, sebagaimana diungkap oleh al Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H), dalam kitab beliau Maqâlat Al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf Al-Mushallîn, juz 1 hal 133:

واختلفوا في وجوب الإمامة: فقال الناس كلهم إلا الأصم: لا بد من إمام. وقال الأصم: لو تكاف الناس عن التظالم لاستغنوا عن الإمام

“Dan mereka berselisih tentang wajibnya Imamah: semua manusia selain al Ashom mengatakan: haruslah ada Imam. Dan Al Ashom berkata: seandainya manusia bisa menjauhkan diri dari saling mendzalimi niscaya mereka tidak perlu Imam”.

Perkataan al Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari “semua manusia kecuali al Ashom” menunjukkan bahwa hampir-hampir tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menegakkan khilafah. Disisi lain Al Ashom (salah seorang syaikh Mu’tazilah, wafat 201 H) tidaklah mengingkari wajibnya khilafah secara mutlak, namun dia memberi syarat yang hampir tidak mungkin terpenuhi, yakni syarat bahwa “manusia bisa menjauhkan diri dari saling mendzalimi” padahal dalam sistem terbaik yang diterapkan oleh manusia terbaik, yakni Rasulullah saw, juga masih ada manusia yang dzalim.

Akibat Tidak Adanya Khilafah

Imam al-Ghazali (w. 505 H) menyatakan, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan suatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki Imam (Khilafah) dan peradilan telah rusak.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Lihat juga syarahnya oleh az-Zabidi, II/233). Beliau juga menyatakan:

ولهذا قيل: الدين والسلطان توأمان، ولهذا قيل: الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع

“Karena inilah, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan lenyap”[5].

Ungkapan Imam Al Ghazali ini juga sesuai dengan hadits riwayat Ad Dailami:

الإسلام والسلطان أخوان توأمان لا يصلح واحد منهما إلا بصاحبه فالإسلام أس والسلطان حارث، وما لا أس له يهدم وما لا حارث له ضائع

Islam dan kekuasaan itu adalah dua saudara kembar, tidak akan baik salah satunya kecuali dengan saudaranya, maka Islam adalah pondasi dan kekuasaan adalah pengelola, dan apa-apa yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan apa-apa yang yang tidak pengelolanya niscaya akan lenyap[6]

Handzalah bin ar-Rabi’ ra ( julukannya Al-Katib karena beliau juru tulis Rasulullah saw) menyebutkan dalam sya’irnya:

عجبت لما يخوض الناس فـيه – يرومون الخلافة أن تزولا

ولو زالت لزال الخير عنـهم – ولاقوا بعدها ذلا ذلـيلا

وكانوا كاليهود أو النصارى – سواء كلهم ضلوا السبيلا

Aku heran dengan apa yang sedang digandrungi oleh manusia – mereka berharap agar khilafah lenyap.

Jika dia(khilafah) lenyap maka lenyap pula kebaikan yang ada pada mereka – dan segera mereka menjumpai kehinaan sehina-hinanya

Dan mereka akan menjadi seperti kaum Yahudi atau Nasrani – setiap mereka sama-sama berada di jalan yang sesat[7]

Imam Ahmad ra dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamshi berkata:

اَلْفِتْنَةُ اِذَا لَمْ يَكُنْ اِمَامٌ يقُوْمُ بِاَمْرِ النَّاس

“(akan terjadi) fitnah apabila tidak ada seorang imam yang mengurusi urusan manusia.”[8]

Kita bisa menyaksikan, bahwa tanpa khilafah, hukum syari’ah benar-benar hilang penerapannya satu persatu, sebagai gantinya berkembanglah berbagai kemaksiyatan. Rasulullah sendiri menegaskan, bahwa ketika hukum/pemerintahan Islam runtuh, maka hukum-hukum lain akan tercerabut dari kehidupan, bahkan shalat sekalipun. Rasulullah saw menyatakan hal ini :

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah masalah hukum (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad dari Abu Ya’la, dengan sanad shahih). Allahu A’lam. (ringkasannya dimuat di harian radarbanjarmasin pada  Mei 2013)

[1] Imâmul Haramayn al-Juwaini (w. 478 H), Ghiyâts al-Umam, hal. 2, Maktabah Imâmul Haramayn

[2] Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkâmus Sulthâniyyah, hal. 15, Dâr al Hadîts

[3] Al-Imam Muhammad ar-Ramli (w. 1004 H), Nihâyat al-Muhtâj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, hal 289

[4] Imam Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa an-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin, juz 10 hal 42, Al Maktab Al I’lamy

[5] Imam al-Ghazali (w. 505 H) , Al Iqtishod Fil I’tiqodhalaman 128, Dâr al Kutub Al Ilmiyyah

[6] Lihat Kanzul ‘Ummal, hadits no 14613, Muassasah Ar Risâlah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan sanad dha’if, dikuatkan Imam As Suyuthi. Juga diriwayatkan dalam Jam’ul Jawâmi’ dengan maknanya.

[7] At-Thabari (w. 310 H), Tarikh ar Rusul wal Mulûk, 4/386, Dâr at Turâts

[8] Al-Imam al-Qadhi Abi Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hambali, al-Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 23, Darul Fikr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar