Minggu

Hukum Poligami

                        

Poligami itu MUBAH bukan Sunnah Bukan pula Wajib, so... mari ikuti paparan berikut ini :

Allah SWT telah berfirman di dalam Kitab-Nya yang Mulia:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3)

Ayat ini diturunkan kepada
Nabi SAW pada tahun kedelapan Hijriyah. Ayat ini diturunkan untuk membatasi jumlah isteri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sampai ayat ini diturunkan, jumlah isteri bagi seorang pria tidak ada batasannya. Siapa saja yang menyimak dan memahami ayat ini, tampak jelas bahwa ayat ini diturunkan untuk membatasi jumlah isteri hingga hanya empat orang saja. Ayat ini bermakna, ‘Kawinilah oleh kalian wanita-wanita yang memang halal untuk kalian nikahi: dua, tiga, atau empat’. Bilangan matsnâ wa tsulâsa wa rubâ‘ (dua, tiga, atau empat) disebut secara sepadan dan berulang. Maknanya, ‘kawinilah oleh kalian wanita-wanita yang baik-baik yang telah dibatasi dengan jumlah ini: dua-dua, tigatiga, atau empat-empat’.

Seruan ayat ini ditujukan kepada manusia secara keseluruhan (al-khithâb li al-jamî‘). Karena itu, pengulangan itu harus dilakukan agar mengena kepada setiap orang yang hendak menikahi beberapa wanita yang diinginkannya, dengan syarat, jumlah wanita yang hendak dinikahinya itu dibatasi dengan hitungan ini (tidak boleh lebih dari empat orang). Yakni agar seruan itu mengena kepada setiap orang yang hendak menikahi beberapa wanita yang diinginkannya, dengan
batasan jumlah hitungan yang telah disebutkan untuknya (yakni tidak lebih dari empat orang, pen). Hal itu seperti ketika kita berkata kepada sekelompok orang, ‘Bagilah oleh kalian harta ini’. Misalnya, harta itu sebanyak 1000 dinar. Kemudian kita mengatakan, ‘Bagilah oleh kalian harta itu sebanyak dua dinar dua dinar, tiga dinar tiga dinar, atau empat dinar empat dinar’. Jika bilangan yang anda ucapkan itu dalam bentuk mufrad (tanpa pengulangan), tentu tidak akan ada artinya. 

Karena itu, pengungkapan dengan bentuk matsnâ wa tsulâsa wa rubâ‘ (dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat) di dalam ayat di atas merupakan suatu keharusan sehingga apa yang ingin diungkapkan berupa jumlah (hitungan) tertentu itu bisa mengena setiap orang. Allah SWT berfirman bahwa hendaknya setiap orang dari kalian mengawini wanita-wanita yang baik-baik: dua, tiga, atau empat. Ini artinya, kawinilah oleh kalian semua dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat orang wanita. Yakni setiap orang dari kalian (boleh) menikahi dua, tiga atau empat orang wanita. 

Sedangkan firman Allah SWT:

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) 

Maknanya, ‘Jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil di antara sejumlah wanita tersebut, maka pilihlah seorang wanita saja dan tinggalkanlah (keinginan) untuk menghimpun empat orang wanita’. Setiap perkara selalu berputar bersama keadilan. Maka di mana saja kalian menjumpai keadilan itu, maka kalian harus mengambilnya. Dan kenyataan bahwa kalian memilih satu orang wanita saja, itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 

Karena itu, frase, “adnâ allâ ta’ûlû (lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)”, maknanya adalah “lebih dekat kepada sikap kalian tidak berbuat aniaya”. Karena lafazh al-’awl maknanya adalah al-jûr (aniaya). Dikatakan, ‘âla al-Hâkim idzâ jâra (Hakim itu telah berbuat aniaya jika dia bertindak zalim -tidak adil-). ‘Aisyah RA menuturkan dari Nabi SAW: 
“Agar kamu tidak berbuat aniaya, yakni agar kamu tidak berlaku zalim (tidak adil). (HR Ibn Hibbân di dalam Shahîh-nya) 

Ayat al-Quran tersebut memperbolehkan poligami, sekaligus membatasinya dengan bilangan empat. Akan tetapi, ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara isteri-isterinya. Ayat tersebut menganjurkan untuk membatasi dengan satu isteri saja, dalam kondisi takut tidak dapat berlaku adil. Sebab, membatasi dengan satu isteri saja dalam kondisi takut tidak dapat berlaku adil merupakan tindakan yang lebih dekat kepada tidak berbuat zalim. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap Muslim. 

Hanya saja, wajib dipahami bahwa keadilan di sini bukanlah syarat bagi kebolehan berpoligami. Melainkan keadilan itu hanya merupakan hukum bagi kondisi seorang laki-laki yang menikahi sejumlah wanita. Yaitu tentang apa yang wajib ada pada dirinya dalam kondisi ia berpoligami. Dan merupakan dorongan untuk membatasi dengan satu isteri saja dalam kondisi takut tidak dapat berlaku adil. Hal itu karena makna kalimat dalam ayat tersebut telah sempurna pada firman Allah SWT:

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3)

Ini artinya adanya kebolehan untuk terjadinya hitungan tersebut (berpoligami) secara mutlak. Makna kalimat ini telah berhenti. Kemudian disambung dengan kalimat yang lain dan ungkapan yang lain pula. Maka Allah SWT berfirman: “Fa in khiftum (Kemudian, jika kamu takut ...). Kalimat ini tidak bisa berposisi sebagai syarat, karena tidak bersambung dengan kalimat pertama dengan hubungan syarat. Akan tetapi kalimat tersebut merupakan kalimat selanjutnya. Seandainya Allah menghendakinya sebagai syarat pasti akan berfirman, “fa ankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’a in ’adaltum (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat, jika kalian adil). Akan tetapi, ungkapan seperti itu tidak ada. 

Sehingga bisa dipastikan bahwa keadilan bukanlah syarat. Keadilan tidak lain merupakan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang pertama. Hukum pertama memperbolehkan berpoligami sampai batas maksimal empat orang isteri. Setelah itu, datang hukum lain, yaitu bahwa yang lebih utama membatasi satu orang isteri saja, jika ia memandang bahwa berpoligami akan menjadikannya tidak dapat berlaku adil di antara isteri-isterinya. Atas dasar ini jelas sekali bahwa, Allah SWT telah memperbolehkan poligami tanpa ada pembatas (qayad), syarat atau ‘illat apapun. Bahkan setiap Muslim boleh mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita yang ia senangi. 

Karena itu, kita mendapati Allah SWT berfirman: “mâ thâba lakum (yang kamu senangi)”. Yaitu wanita-wanita yang kamu dapati dan kamu senangi. Jelas pula bahwa Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berbuat adil di antara isteri-isteri. Sekaligus Allah SWT menganjurkan kepada kita dalam kondisi takut terjatuh ke dalam kezaliman di antara isteri-isteri agar kita membatasi dengan satu orang isteri saja. Karena membatasi dengan satu orang isteri saja adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 

Adapun keadilan yang dituntut kepada seorang suami terhadap para isterinya, itu bukanlah keadilan secara mutlak (dalam segala hal). Melainkan adalah keadilan suami isteri di antara isteri-isteri yang masih berada dalam batas kemampuan seorang manusia untuk merealisasikannya. Sebab, Allah SWT sendiri tidak membebani manusia kecuali dalam batas-batas kesanggupannya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (TQS al-Baqarah [2]: 286)

Memang benar, kata ta‘dilû yang tercantum dalam ayat di atas berbentuk umum. Firman Allah SWT:

“Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) 

Kata adil dalam ayat tersebut berbentuk umum mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian di-takhsîs (dikhususkan) oleh ayat lain hanya dalam sesuatu yang mampu direalisasikan oleh manusia. 
Allah SWT berfirman:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 129)

Allah SWT telah menjelaskan di dalam ayat ini bahwa mustahil kita bisa berbuat adil dan berlaku sama diantara isteri-isteri, sampai tidak ada kecenderungan sama sekali (kepada salah satunya), dan tidak lebih serta tidak kurang dari apa yang telah diwajibkan kita penuhi untuk mereka. Karena itu, Allah mengangkat dari kalian kewajiban untuk mewujudkan keadilan yang sempurna dan paling tinggi. Keadilan yang dibebankan kepada kamu tidak lain adalah keadilan yang mampu kamu wujudkan, dengan syarat, kamu telah mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang ada padamu. Sebab, pemberian taklif (beban) di luar kemampuan adalah termasuk kezaliman. Padahal, Allah SWT sendiri telah berfirman:

“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”. (TQS al-Kahfi [18]: 49)

Dan firman Allah SWT:

“Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai).” (TQS an-Nisâ’ [4]: 129)

Merupakan catatan sekaligus komentar terhadap firman-Nya:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil.” (TQS an- Nisâ’ [4]: 129)

Pernyataan tersebut merupakan dalil bahwa maknanya adalah “kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil dalam membagi cinta dan kasih-sayang”. Mafhumnya adalah adanya kemampuan untuk berbuat adil dalam hal selain cinta dan kasih sayang. Inilah bentuk keadilan yang diwajibkan di dalam ayat sebelumnya. Karenanya, keadilan yang dituntut itu dikhususkan dalam hal selain cinta dan kasih sayang.

Sebaliknya, cinta (kasih-sayang) dan jima’ (persetubuhan) dikecualikan dari kewajiban berlaku adil itu. Karena itu, dalam dua perkara ini, tidak ada kewajiban untuk berlaku adil, karena manusia sekali-kali tidak akan mampu berlaku adil dalam hal cinta dan kasihsayangnya. Pengertian semacam ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia menuturkan:

“Rasulullah SAW membagi (giliran diantara isterinya) dan berupaya berlaku adil lalu beliau berkata: “Ya Allah, sesungguhnya inilah pembagianku dalam apa yang aku miliki (kuasai). Maka janganlah Engkau cela aku dalam hal yang Engkau miliki (kuasai) sementara tidak aku miliki (kuasai)” (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân) Maksud (yang dikuasasi Allah dan tidak dikuasai oleh Nabi SAW) adalah hati beliau. Juga diriwayatkan dari Ibn Abbâs RA tentang firman Allah SWT:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil.” (TQS an- Nisâ’ [4]: 129)
Ibn ‘Abbâs RA berkata: “Yakni dalam masalah cinta dan persetubuhan”.

Dalam ayat di atas, Allah SWT telah memerintahkan untuk menjauhkan diri dari terlalu cenderung (kullu al-mayl). Hal itu artinya, Allah SWT memperbolehkan untuk cenderung (biasa saja tidak terlalu, pen.). Sebab, mafhum dari larangan atas terlalu cenderung (kullu almayl) darinya dapat dipahami kebolehan untuk cenderung (al-mayl) – tidak sampai terlalu cenderung, pen.–. Hal itu seperti larangan untuk bersikap boros, sebagaimana firman-Nya:

“Dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (TQS al-Isrâ’ [17]: 29)

Artinya, boleh mengulurkan tangan (membelanjakan harta asal tidak sampai bersikap boros, pen.). Atas dasar ini, Allah SWT telah memperbolehkan suami untuk bersikap cenderung kepada sebagian isterinya. Akan tetapi Allah melarang kecenderungan itu sampai mencakup segala hal. Namun cenderung yang dibolehkan itu adalah cenderung dalam hal yang sesuai dengan kecenderungan, yaitu cinta (kasih-sayang) dan hasrat seksual.

Dengan demikian, pengertian ayat di atas adalah, jauhilah oleh kalian sikap terlalu cenderung, karena jika terlalu cenderung itu terjadi dari kalian akan menjadikan seorang wanita atau isteri (yang diabaikan, pen) terkatung-katung, yaitu seperti tidak memiliki suami tetapi belum diceraikan. Telah diriwayatkan dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Siapa saja yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satu dan mengabaikan yang lain, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat nanti berjalan sementara salah satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di dalam Shahîh-nya)

Atas dasar ini, keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah berlaku sama di antara isteri-isterinya dalam hal yang ia mampu, seperti menginap di malam hari, dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Sedangkan, dalam perkara-perkara yang termasuk ke dalam pengertian kecenderungan, yaitu masalah cinta dan hasrat seksual, maka tidak diwajibkan keadilan di dalamnya, karena hal itu memang berada di luar kemampuan, dan hal itu dikecualikan (dari
kewajiban berlaku adil) oleh nash al-Quran.

Inilah pembahasan mengenai topik poligami sebagaimana yang dinyatakan oleh nash-nash syariah. Dengan melakukan pengkajian terhadap nash-nash tersebut, memperhatikan batas-batas pengertiannya baik secara bahasa maupun syariah, dan apa yang ditunjukkan oleh serta apa yang digali dari nash-nash tersebut, menjadi jelaslah bahwa Allah SWT telah memperbolehkan poligami secara umum tanpa adanya suatu pembatas (qayad) atau syarat apa pun. Nash-nash tentangnya dinyatakan tidak mengandung ‘illat apa pun. Bahkan, Allah SWT mengungkapkannya dengan ungkapan yang menunjukkan penafian terhadap upaya penetapan‘illat. 

Maka Allah SWT berfirman: “….wanita-wanita yang kamu senangi.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3)

Karena itu, kita wajib berhenti pada batas-batas nash syariah dan hukum syara’ yang digali dari nash-nash tersebut. Kita tidak boleh menetapkan ‘illat atas hukum ini dengan suatu ’illat apapun; baik ’illat keadilan, kebutuhan, dan ’illat-’illat lainnya. Sebab, nash tersebut tidak menyatakan ’illat (sebab disyariatkannya) hukum, dan tidak terdapat nash apapun yang menyatakan‘illat untuk hukum tersebut. Padahal, ‘illat suatu hukum harus merupakan ’illat syar‘îyyah. Yaitu wajib terdapat nash yang menyatakan ’illat tersebut sehingga hukum yang digali menggunakan ’illat tersebut layak dinilai sebagai hukum syara’. 

Jika ‘illat yang dikemukakan merupakan ’illat ‘aqliyyah (’illat yang ditetapkan oleh akal secara rasional, pen.) atau tidak dinyatakan oleh satu nash syara’ pun, maka hukum yang digali menggunakan ‘illat tersebut tidak bisa nilai sebagai hukum syara’. Melainkan hukum itu merupakan hukum positif (hukmun wadh’iyyun/hukum yang dibuat atau ditetapkan oleh manusia, pen.). Hukum semacam itu haram diadopsi dan haram pula diterapkan, karena merupakan hukum kufur. Sebab, setiap hukum yang tidak syar’iy merupakan hukum kufur. 

Terlebih definisi hukum syara’ sebagai khithâb asy-Syâri‘ (Seruan Sang Pembuat Hukum) meniscayakan hukum tersebut harus diambil dari seruan asy-Syâri’ (Sang Pembuat Hukum yakni Allah SWT), baik secara tekstual (nashan), kontekstual (mafhûman), atau secara penunjukkan (dalâlatan); bisa juga dengan adanya tanda/indikasi (amârah) yang terkandung di dalam nash yang menunjukkan atas suatu hukum syara’, di mana setiap hukum yang mengadung tanda/indikasi (amârah) tersebut dinilai sebagai hukum syara’. 

Amârah (tanda/indikasi) tersebut merupakan ‘illat syar‘îyyah yang dinyatakan di dalam nash, baik secara jelas (sharâhatan), berdasarkan penunjukkan (dalâlatan), melalui penggalian (istinbâthan), atau secara analogi (qiyâsan). Jika amârah atau ‘illat ini tidak dinyatakan di dalam nash, maka tidak ada nilainya. Dari sini, jelas sekali bahwa penetapan ‘illat-‘illat apa pun atas hukum kebolehan poligami tidak boleh dilakukan. Karena di dalam seruan Allah SWT tidak terdapat ‘illat apa pun untuk hukum tersebut. Sementara, ‘illat apa pun tidak akan memiliki nilai dalam proses penetapan suatu hukum sebagai hukum syara’, kecuali jika ‘illat tersebut
memang terdapat/dinyatakan di dalam seruan Allah SWT. 

Namun demikian, tidak bolehnya mencari-cari atau menetapkan ‘illat suatu hukum syara’ bukan berarti tidak boleh menjelaskan fakta yang terjadi, berupa implikasi dari hukum syara’ tersebut dan fakta masalah yang dipecahkan. Akan tetapi hal itu hanya merupakan penjelasan atas fakta, bukan penetapan ’illat atas hukum. Terdapat perbedaan antara penjelasan fakta dengan penetapan ‘illat hukum. Penetapan ‘illat hukum dengan suatu ’illat tertentu, ’illat tersebut wajib ada di dalamnya secara terus menerus dan setiap hukum lain yang di dalamnya terdapat ’illat itu bisa dianalogikan (diqiyaskan) kepada hukum tersebut. Sebaliknya, penjelasan fakta merupakan penjelasan atas apa yang mesti terjadi berdasarkan fakta tersebut. Apa yang semestinya terjadi itu tidak secara terus menerus ada di dalam perkara (fakta) itu dan perkara yang lain tidak bisa dianalogikan (diqiyaskan) kepada perkara (fakta) tersebut.

Berdasarkan hal itu, tampak jelas di antara implikasi poligami adalah bahwa masyarakat yang di dalamnya diperbolehkan poligami tidak akan ditemukan adanya banyak wanita simpanan. Sebaliknya, masyarakat yang di dalamnya poligami dihalangi/dilarang akan dijumpai banyak wanita simpanan. Lebih dari itu, poligami ternyata memecahkan berbagai problem yang muncul di tengah suatu komunitas manusia dengan sifatnya sebagai komunitas manusia. Berbagai problem yang mengemuka tersebut perlu disolusi oleh praktek poligami. 

Beberapa dari contoh problem tersebut antara lain:

1. Ditemukan tabiat-tabiat yang tidak biasa pada sebagian pria, yakni tabiat yang tidak bisa puas hanya dengan satu orang isteri. Akibatnya, mereka bisa saja menumpahkan hasrat seksualnya yang kuat itu kepada isterinya dan dapat berdampak buruk bagi isterinya itu. Atau bisa juga mereka akan mencari wanita lain jika terbuka pintu di hadapannya untuk melangsungkan pernikahan lagi yang
kedua, ketiga dan keempat. 
Dalam keadaan demikian (ketika tidak ada peluang untuk berpoligami, pen), di antara dharar (kerusakan) yang akan muncul adalah berupa tersebar luasnya kekejian (perzinaan) di tengah-tengah manusia. Juga akan meluasnya berbagai prasangka dan kecurigaan di antara anggota-anggota keluarga (masyarakat). Karena itu, bagi orang yang memiliki tabiat seperti ini, harus ada peluang yang terbuka di hadapannya untuk bisa memenuhi dorongan seksualnya yang kuat itu dengan pemenuhan yang halal yang telah disyariatkan oleh Allah SWT.

2. Adakalanya terdapat wanita (isteri) yang mandul, tidak bisa memiliki anak. Akan tetapi, suaminya sangat mencintai dia dan sebaliknya dia pun sangat mencintai suaminya. Rasa cinta di antara keduanya itu menjadikan keduanya tetap mempertahankan keberlangsungan mahligai kehidupan rumah-tangga mereka dengan penuh ketenteraman. Namun, sang suami ingin mempunyai anak dan cinta kepada anak-anak. Dalam keadaan demikian, jika ia tidak diperbolehkan untuk menikahi wanita yang lain, sementara ruang di hadapannya (untuk memiliki anak) terasa sempit, maka boleh jadi ia akan menceraikan isteri pertamanya itu. 
Dalam kondisi demikian, ketenangan rumah tangga itu telah hancur dan ketenteraman kehidupan suami isteri pun hancur pula. Boleh jadi pula, ia akan terhalang sama sekali untuk merasakan kebahagiaan memiliki keturunan dan anak-anak. Dalam kondisi semacam ini telah terjadi pemberangusan terhadap penampakkan rasa kebapakan yang merupakan bagian dari gharîzah an-naw’. Karena itu, seorang suami yang seperti ini harus mendapatkan kesempatan yang terbuka untuk menikah lagi dengan wanita lain agar mendapatkan anak-keturunan yang didambakannya.

3. Kadang-kadang terdapat isteri yang menderita sakit sehingga tidak bisa melakukan hubungan suami-isteri, atau tidak dapat melakukan tugas mengurus rumah, suami, dan anak-anaknya. Padahal, sang isteri memiliki kedudukan yang istimewa di mata suaminya, dan sangat dicintai oleh suaminya. Si suami pun tidak ingin menceraikannya. Sementara pada saat yang sama, si suami itu merasa tidak akan sanggup hidup bersama isterinya (yang sakit itu) itu tanpa adanya isteri yang lain. Dalam kondisi semacam ini, tentu harus dibuka pintu kesempatan bagi sang suami untuk menikahi lebih dari satu isteri.

4. Kadang terjadi berbagai peperangan atau pergolakan fisik yang mengakibatkan ribuan, bahkan jutaan pria menjadi korban (mati). Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara jumlah kaum pria dan wanita. Hal itu seperti yang pernah terjadi secara riil pada Perang Dunia I dan II yang malanda dunia, khususnya di daratan Eropa. Jika kaum pria tidak bisa mengawini lebih dari satu wanita, lalu apa yang harus dilakukan oleh sejumlah besar kaum wanita yang ada? Mereka akan hidup tanpa bisa mengecap nikmatnya kehidupan berumah-tangga sekaligus ketenteraman dan ketenangan hidup sebagai suami-isteri. Lebih dari itu, kondisi semacam ini dapat menimbulkan adanya bahaya yang dapat mengancam nilai-nilai akhlak akibat munculnya naluri seksual yang tidak bisa dibendung. 

5. Acapkali ditemukan bahwa angka kelahiran di suatu umat, bangsa atau wilayah tertentu tidak seimbang antara angka kelahiran laki-laki dan perempuan. Kadang-kadang jumlah kaum perempuannya lebih banyak dari pada jumlah kaum laki-lakinya. Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara populasi laki-laki dan populasi perempuan. Realitas seperti ini nyaris melanda sebagian besar bangsa dan umat di dunia. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada solusi yang dapat mengatasi problematika ini, kecuali dengan dibolehkannya poligami.

Itulah beberapa problem riil yang terjadi di tengah-tengah komunitas manusia dan melanda sejumlah bangsa atau umat. Jika poligami dilarang, problem-problem seperti itu akan tetap berlangsung, tanpa mendapat solusi. Sebab tidak ada solusi atas problem-problem itu kecuali dengan poligami. Dari sinilah, poligami harus diperbolehkan sehingga problem yang menimpa umat manusia itu dapat diselesaikan. 

Islam sendiri telah datang memperbolehkan poligami dan tidak sampai mewajibkannya. Kebolehan poligami merupakan suatu keniscayaan. Hanya saja, harus diketahui bahwa berbagai kondisi yang dikemukakan di atas atau yang semacamnya, yang adakalanya terjadi menimpa umat manusia atau suatu komunitas manusia, hanyalah merupakan problematika yang secara riil (mungkin) terjadi. Hal itu bukan merupakan ‘illat bagi kebolehan poligami, dan bukan pula merupakan syarat untuk berpoligami. Bahkan secara mutlak, seorang pria boleh mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita, baik tengah terjadi persoalan-persoalan yang membutuhkan pemecahan berupa poligami atau pun tidak. Sebab, 
Allah SWT telah berfirman:

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3)

Dalam ayat ini Allah SWT berfirman: “mâ thâba (yang disenangi)” dan menetapkannya berbentuk umum, tanpa ada batasan (qayad) atau syarat apa pun. Adapun membatasi diri dengan seorang isteri saja, syara’ telah menganjurkannya dalam satu kondisi saja. Yaitu dalam kondisi ketika takut tidak dapat berlaku adil. Di luar kondisi ini, tidak dinyatakan di dalam satu nash pun adanya dorongan dari syara’ untuk menikahi satu isteri saja. Seiring bahwa poligami merupakan hukum syara’ yang dinyatakan di dalam al-Quran secara jelas, maka tsaqafah kapitalisme dan propaganda Barat menyerang Islam sendiri tanpa menyerang agama-agama lainnya. 

Mereka telah menggambarkan poligami dengan gambaran yang keji dan busuk. Mereka menjadikan poligami sebagai suatu alat untuk melemahkan dan menikam agama (Islam). Faktor yang mendorong mereka melakukan tindakan semacam itu bukan karena adanya ‘cacat’ yang –dalam pandangan mereka– terdapat di dalam hukum-hukum Allah, melainkan semata-mata dilandasi oleh motif untuk menikam Islam, dan tidak ada motif lainnya. Propaganda ini telah mempengaruhi kaum Muslim, terutama pihak-pihak pemegang kekuasaan dan kaum intelektual. Sehingga hal itu mendorong banyak dari mereka yang masih memiliki perasaan Islami bangkit membela Islam. Mereka lalu berusaha menakwilkan nash-nash syara’ secara batil untuk melarang poligami. Hal itu mereka lakukan akibat pengaruh propaganda batil yang terus digulirkan oleh musuh-musuh Islam.

Karena itu, kaum Muslim harus diingatkan bahwa sesuatu yang terpuji adalah apa saja yang dipuji oleh syara’ dan sesuatu yang tercela adalah apa saja yang dicela oleh syara’. Kaum Muslim juga harus diingatkan bahwa apa saja yang diperbolehkan oleh syara’ merupakan sesuatu yang terpuji, dan sebaliknya apa saja yang diharamkan oleh syara’ merupakan sesuatu yang tercela. Kaum Muslim juga harus diingatkan bahwa poligami, baik memiliki pengaruh yang dapat dirasakan dan dia pandang terpuji, atau pun tidak; dan baik poligami itu memecahkan problem yang terjadi atau tidak, sesungguhnya syara’ telah memperbolehkannya.

Al-Quran telah menyatakan kebolehan plogami itu. Maka poligami merupakan sesuatu (tindakan) yang terpuji. Sebaliknya, tindakan melarang poligami merupakan perbuatan yang tercela, karena tindakan demikian merupakan bagian dari hukum kufur. Harus menjadi sesuatu yang sudah jelas bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban atau sunnah bagi kaum Muslim. Tetapi Islam hanya menjadikan poligami sebagai sesuatu yang mubah, yakni sesuatu yang boleh kaum Muslim lakukan jika memang mereka menghendakinya.

Kenyataan bahwa Islam menjadikan poligami itu sebagai sesuatu yang mubah, artinya bahwa Islam telah meletakkan masalah poligami itu di tangan manusia sebagai suatu solusi yang bisa mereka gunakan setiap kali memang harus digunakan. Islam memperbolehkan manusia untuk tidak mengharamkan diri mereka sendiri dari wanita-wanita yang mereka senangi, jika mereka memang cenderung terhadap poligami itu dalam pandangan mereka. Jadi, adanya kebolehan poligami dan bukan sebagai kewajiban, hal itu menjadikan poligami sebagai solusi yang paling efektif yang dimiliki oleh umat manusia untuk memecahkan problem suatu komunitas dan masyarakat. wallahu a'lam

disarikan dari kitab Sistem Pergaulan Dalam Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar