Dari Catatan Seorang Akhwat
Saudaraku yang dirahmati Allah..
Masihkan kita tega berkata “Suamiku I belong to you and you belong to me?”. Sadarilah sepenuhnya bahwa suami adalah milik Allah, bukan milik kita, ia hanya amanah. Bersiap menikah berarti siap untuk dimadu, siap untuk ditinggal mati/syahid, siap menderita, siap menjadi sahabat, siap menjadi partner dalam duka maupun suka, siap segalanya bahkan siap dicerai. Rasanya tidak pantas jika kita telah menyadari bahwa diri kita tidaklah sempurna dihadapan siapapun, termasuk dihadapan suami tercinta. Apalagi sudah faham atas hukum poligami , kemudian mencari-cari alasan dan dalil untuk melarang apalagi mengultimatum suami agar jangan sampai poligami. Mencintai bukan berarti mengekang, mencintai berarti kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Menikah berarti ibadah.
Bukankah kita diutamakan untuk peduli dan mengutamakan saudara kita? Bukankah pengorbanan di jalan Allah itu pahalanya sangat besar?
Bukankah pengorbanan berarti memberi atau merelakan apa yang paling kita cintai dan sayangi untuk Allah, Islam dan saudari kita?
Sadarkah wahai ummahat..
Bahwa ada banyak muslimah lain di luar sana yang ingin menjaga kehormatannya, menjaga kesucian interaksinya dengan lawan jenis, ingin merasakan support dari seorang
imam ketika mereka lelah dalam mengarungi hidup dan perjuangan ini?
Mereka merindukan juga belaian kasih sayang yang tulus dari seorang suami yang soleh sebagaimana antunna?
Ummahat,
Bukankah antunna juga pernah merasakan hal yang sama ketika dalam penantian jodoh?
Bukankah ketika antunna merindukan suami antunna pulang, si akhwat lain justru dalam penantian yang tidak jelas. Ketika suami antum pulang belum tentu bisa melayaninya sempurna. Sementara di luar sana ada merindukan untuk melayani? Pilih mana antunna ditinggalkan tanpa tanggung jawab (dicerai) atau berbagi dengan ukhti yang lain yang juga punya hak atas suami antunna?
Kedengarannya kejam dan tega tapi maaf inilah hukum syara’ yang tidak selamanya membuat kita ‘nyaman’ jika tidak disertai keikhlasan yang tinggi.
Begitu banyak akhwat yang punya persyaratan dan minta komitmen khusus kepada suaminya agar tidak mau poligami setelah menikah tapi kenyataan dia tak mampu memberi yang terbaik bagi suaminya. Janganlah jadi wanita egois yang menyakiti suami dan akhwat lain?
Jangan egois saudariku, anggap ahkwat lain sedang dihadapan antunna dan berkata dengan pelan dan linangan air mata,
Ukhty…
Ukhty telah bersuami bukannya prihatin atas nasib kami yang masih dalam penantian, malah justru mencemburui dan membenci kami padahal kami belum tentu bermaksud meminta suami antunna, hanya mengetuk kesadaran dan kepedulian antunna?
Pilih mana, mendengar kabar suami anda menikah lagi karena takut berzina, atau mendengar dia digerebek dalam kos-kosan atau hotel karena sedang in the ‘Hoy’ dengan wanita jalang?
Adakah antunna merasa bahwa antunna turut andil dalam kasus ini?
Pada faktanya, berapa banyak wanita yang dibunuh karena meminta dinikahi sementara si pria sudah punya istri?
Berapa banyak bayi digugurkan karena anak lahir di luar?
Berapa banyak istri ke 2 yang harus dicerai karena monogami yang dipaksakan? Berapa banyak anak yang lahir tanpa bapak?
Berapa banyak generasi yang seharusnya tumbuh normal dalam pengasuhan seorang ayah namun terlantar karena keegoisan sang Ibu yang lebih memilih bercerai daripada dimadu?
Dan banyak lagi fakta lain yang patut kita renungkan.
Bukankah kita semua sudah tau ayat berikut?
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS An-Nur: 30)
Mari kita bantu mereka, bagi anda yang sudah benar-benar siap untuk dimadu, ada baiknya jika anda sendirilah yang mencarikan pasangan yang ideal dan tepat bagi suami anda untuk jadi partner sejati menuju ridho dan Jannah-Nya. Indahnya tak terukir melalui kata-kata jika kita mampu bersama-sama mencintai ia (akhwat) yang suami kita cintai.
Jika menikah karena Allah, semua akan terasa indah. Poligami, cerai atau rujuk semua kan terasa indah. Indah sekali. Jangan tunggu suami melakukan pelanggaran hukum syara baru bertindak bahkan menyesal. Jaga interaksi suami anda dengan perempuan ajnabi dengan menawarkan diri jadi perantara jika memang suami sudah ada kecenderungan ke sana. Jangan hanya bisa terdiam dalam luka, komunikasikanlah dari hati ke hati.
Wahai ukhty..
Ada jannah menanti orang-orang yang ikhlas dan rela berkorban bagi suaminya. Toh, di syurga pun kita akan bersaing dengan bidadari-bidadari nan jelita. Jangan membuatnya cemburu dengan menguasai suami anda saat ini, padahal anda masih banyak menyakiti suami. Atau jauh dari kata memuaskan atas pelayanan anda.
Ukhty,
Bukan bermaksud menghujat apalagi membenci ..
Hanya sekedar perenungan bersama agar kita semua menjadi hamba yang utama dan diridho Allah. Maafkanlah saya yang dhoif..
Saudaraku yang dirahmati Allah..
Masihkan kita tega berkata “Suamiku I belong to you and you belong to me?”. Sadarilah sepenuhnya bahwa suami adalah milik Allah, bukan milik kita, ia hanya amanah. Bersiap menikah berarti siap untuk dimadu, siap untuk ditinggal mati/syahid, siap menderita, siap menjadi sahabat, siap menjadi partner dalam duka maupun suka, siap segalanya bahkan siap dicerai. Rasanya tidak pantas jika kita telah menyadari bahwa diri kita tidaklah sempurna dihadapan siapapun, termasuk dihadapan suami tercinta. Apalagi sudah faham atas hukum poligami , kemudian mencari-cari alasan dan dalil untuk melarang apalagi mengultimatum suami agar jangan sampai poligami. Mencintai bukan berarti mengekang, mencintai berarti kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Menikah berarti ibadah.
Bukankah kita diutamakan untuk peduli dan mengutamakan saudara kita? Bukankah pengorbanan di jalan Allah itu pahalanya sangat besar?
Bukankah pengorbanan berarti memberi atau merelakan apa yang paling kita cintai dan sayangi untuk Allah, Islam dan saudari kita?
Sadarkah wahai ummahat..
Bahwa ada banyak muslimah lain di luar sana yang ingin menjaga kehormatannya, menjaga kesucian interaksinya dengan lawan jenis, ingin merasakan support dari seorang
imam ketika mereka lelah dalam mengarungi hidup dan perjuangan ini?
Mereka merindukan juga belaian kasih sayang yang tulus dari seorang suami yang soleh sebagaimana antunna?
Ummahat,
Bukankah antunna juga pernah merasakan hal yang sama ketika dalam penantian jodoh?
Bukankah ketika antunna merindukan suami antunna pulang, si akhwat lain justru dalam penantian yang tidak jelas. Ketika suami antum pulang belum tentu bisa melayaninya sempurna. Sementara di luar sana ada merindukan untuk melayani? Pilih mana antunna ditinggalkan tanpa tanggung jawab (dicerai) atau berbagi dengan ukhti yang lain yang juga punya hak atas suami antunna?
Kedengarannya kejam dan tega tapi maaf inilah hukum syara’ yang tidak selamanya membuat kita ‘nyaman’ jika tidak disertai keikhlasan yang tinggi.
Begitu banyak akhwat yang punya persyaratan dan minta komitmen khusus kepada suaminya agar tidak mau poligami setelah menikah tapi kenyataan dia tak mampu memberi yang terbaik bagi suaminya. Janganlah jadi wanita egois yang menyakiti suami dan akhwat lain?
Jangan egois saudariku, anggap ahkwat lain sedang dihadapan antunna dan berkata dengan pelan dan linangan air mata,
Ukhty…
Ukhty telah bersuami bukannya prihatin atas nasib kami yang masih dalam penantian, malah justru mencemburui dan membenci kami padahal kami belum tentu bermaksud meminta suami antunna, hanya mengetuk kesadaran dan kepedulian antunna?
Pilih mana, mendengar kabar suami anda menikah lagi karena takut berzina, atau mendengar dia digerebek dalam kos-kosan atau hotel karena sedang in the ‘Hoy’ dengan wanita jalang?
Adakah antunna merasa bahwa antunna turut andil dalam kasus ini?
Pada faktanya, berapa banyak wanita yang dibunuh karena meminta dinikahi sementara si pria sudah punya istri?
Berapa banyak bayi digugurkan karena anak lahir di luar?
Berapa banyak istri ke 2 yang harus dicerai karena monogami yang dipaksakan? Berapa banyak anak yang lahir tanpa bapak?
Berapa banyak generasi yang seharusnya tumbuh normal dalam pengasuhan seorang ayah namun terlantar karena keegoisan sang Ibu yang lebih memilih bercerai daripada dimadu?
Dan banyak lagi fakta lain yang patut kita renungkan.
Bukankah kita semua sudah tau ayat berikut?
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS An-Nur: 30)
Mari kita bantu mereka, bagi anda yang sudah benar-benar siap untuk dimadu, ada baiknya jika anda sendirilah yang mencarikan pasangan yang ideal dan tepat bagi suami anda untuk jadi partner sejati menuju ridho dan Jannah-Nya. Indahnya tak terukir melalui kata-kata jika kita mampu bersama-sama mencintai ia (akhwat) yang suami kita cintai.
Jika menikah karena Allah, semua akan terasa indah. Poligami, cerai atau rujuk semua kan terasa indah. Indah sekali. Jangan tunggu suami melakukan pelanggaran hukum syara baru bertindak bahkan menyesal. Jaga interaksi suami anda dengan perempuan ajnabi dengan menawarkan diri jadi perantara jika memang suami sudah ada kecenderungan ke sana. Jangan hanya bisa terdiam dalam luka, komunikasikanlah dari hati ke hati.
Wahai ukhty..
Ada jannah menanti orang-orang yang ikhlas dan rela berkorban bagi suaminya. Toh, di syurga pun kita akan bersaing dengan bidadari-bidadari nan jelita. Jangan membuatnya cemburu dengan menguasai suami anda saat ini, padahal anda masih banyak menyakiti suami. Atau jauh dari kata memuaskan atas pelayanan anda.
Ukhty,
Bukan bermaksud menghujat apalagi membenci ..
Hanya sekedar perenungan bersama agar kita semua menjadi hamba yang utama dan diridho Allah. Maafkanlah saya yang dhoif..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar