Minggu

Semua Pemimpin Ulil Amri ?


Haruskah selalu taat pada ulil amri?
Siapakah yang layak disebut Ulil Amri?

Imam Al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3)


“Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ ,  hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan ulil amri adalah para pemimpin umat Islam yang mengatur pemerintahannya dengan pedoman hukum Allah Al Quran dan As sunnah, Sedangkan para pemimpin negara yang mengatur pemerintahannya dengan selain hukum Allah,seperti comunis, demokrasi(sekuler liberal),dan sebagainya,maka tidaklah layak disebut sebagai ulil amri yang syar'i,Imam Asy-Syaukani berkata:

وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية

“Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i,bukan kekuasaan thaghut.”  (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556)

Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222)

Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)

Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama dalam memaknai ulil amri, pertama: Ulil amri  yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. Kedua:  Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. Ketiga: Ulil amri  yang tidak menjadikan syariat Islam  sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati dan tidak layak di sebut sebagai ulil amri yang syar'i

Kesimpulan ini selaras dengan tujuan (maqashid) kepemimpinan itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat,  yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam  pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi SAW dalam menjalankan tugas kenabian.

HARUSKAN SELALU TAAT PADA ULIL AMRI

Ketaatan kepada Allah dan Rasulnya ketaatan mutlak (sepenuhnya)taat pada (Ulil Amri bukan nabi atau Rasul ) ketaatan dengan syarat bila ketetapan ulil Amri,sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasulnya harus di taati,tapi bila tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasulnya tidak boleh di Taati Allah azza wa jalla berfirman:

َاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

”Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah RasulNya, dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benarberiman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
 [QS. An-Nisaa: 59]

Di tafsirkan dengan hadis nabi Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam  bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Dalam sebuah hadits dari ‘Ali radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ آخَرُونَ إِنَّمَا فَرَرْنَا مِنْهَا فَذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا لَوْ دَخَلُوهَا لَمْ يَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَقَالَ لِلْآخَرِينَ لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus satu pasukan dan mengangkat seorang laki-laki sebagai panglima mereka. Kemudian panglima itu menyalakan api dan berkata (kepada pasukannya): “Masuklah kamu ke dalam api!” Sebagian pasukan berkehendak memasukinya, orang-orang yang lain mengatakan,”Sesungguhnya kita lari dari api (neraka),” kemudian mereka menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada orang-orang yang berkehendak memasukinya, “Jika mereka memasuki api itu, mereka akan terus di dalam api itu sampai hari kiamat”. Dan beliau bersabda kepada yang lain,”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Ayat 59 yang mulia dari QS An-Nisaa tidak diragukan lagi merupakan ayat yang sering disalahpahami sebagai dalil yang menunjukkan kewajiban ketaatan mutlak pada ulil amri,  atau pemimpin. Padahal QS An-Nisaa: 59 ini maknanya ialah taati ulil amri selama masih berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah, selama masih dalam koridor ajaran Islam, sebagai syarat ketaatan yang mutlak dalam pandangan Islam.

Bagi mereka yang gemar menyembunyikan kebenaran, ayat ini justru dipakai untuk mendukung kebijakan-kebijakan kufur dan batil dari pemerintahan level negara maupun level daerah. Asalkan pemerintah dan penguasa senang, tidak jarang fatwa-fatwa dari ulama su’u yang tidak bertanggung jawab justru melegitimasi kebijakan-kebijakan kufur dan batil pemerintah. Tidak lagi peduli sesuai ajaran Islam atau tidaknya.

Akhirnya, umat yang dikobarkan menanggung kemaksiatan dan kebatilan demi kepentingan dunia ulama-ulama palsu tersebut. Tidak jarang dari ulama-ulama palsu tersebut dibayar pemerintah saat ‘di balik layar’ atau diiming-imingi kedudukan.


Hendaknya jangan lagi ada kasus QS An-Nisaa ayat 59 ini diselewengkan maknanya oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Ayat ini sesungguhnya memerintahkan umat Islam untuk mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan, utamanya dalam masalah hukum atau kebijakan, untuk mengembalikannya pada landasan ayat-ayat Allah dan sunnah-sunnah Rasul-Nya.

Ayat suci ini juga menjelaskan kepada bahwa tidaklah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika ada umat Islam yang tidak melakukan perintah sebagaimana yang diserukan ayat. Setiap perkara, setiap urusan atau pun setiap kebijakan negara wajib menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai landasan. Sumber ajaran Islam wajib dijadikan asas dan rambu-rambunya.

Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…” [Kitab A’lamul Muwaqi’in I/84]

Imam Ibnu Katsir, pakar tafsir kenamaan, mengatakan berkenaan ayat ini: Maksudnya kembalikanlah perselisihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah rasulullah. Berhukumlah kepada keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan “Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”. Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka (konsekuensinya) ia dianggap tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir.”
[Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim I/519]

SYIRIK KETAATAN 

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu,bagi siapa yang dikehendaki-Nya.Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.

Islam merupakan agama yang sempurna sehingga ketetapan hukum dalam aturan agama Islam telah jelas, perkara yang halal dan haram pun telah jelas. Hukum maupun aturan yang terdapat di dalam Al-Qur`an dan Sunnah merupakan sumber hukum / aturan yang telah final.Seseorang yang menetapkan ketetapan dengan menyalahi hukum Allah maka ia beranggapan bahwa ia merasa lebih hebat dari Allah.

Ketaatan Mutlak yang sesungguhnya hanya kepada Allah.Tidak ada yang patut ditaati secara mutlak melainkan hanya kepada Allah.Begitu pula ketaatan kepada Rasulullah juga karena diperintahkan oleh Allah.

مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا ٨٠
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu),maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa` : 80)

Sehinga ketaatan kepada Rasulullah menjadi ketaatan mutlak,karna seorang nabi sekaligus Rasul,ketaatan kepada Seorang pemimpin,ustad,ulama maupun seorang Syaikh,ketaatan dengan syarat bila ketetapan mereka sesuai dengan ketetapan Allah dan rasulnya,tidak ada ketaatan pada mereka dalam rangka bermaksiat kepada Allah,Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam  bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257

Sudah seharusnya para pemimpin,ustad maupun ulama,apabila memutuskan kepurusan atau fatwa,maka sudah seharusnya suatu fatwa yang dirumuskannya harus disesuaikan & didasarkan pada hukum dalam Al-Qur`an maupun Sunnah Maqbullah, agar fatwa yang dirumuskannya tidak menyalahi hukum Allah.Bukan malah merumuskan fatwa menurut selera hawa nafsunya sendiri maupun disesuaikan dengan hawa nafsu kebanyakan orang, terlebih lagi sampai berani menghalalkan sesuatu maupun mengharamkan sesuatu.Jika hal ini sampai dilakukan,maka hal tersebut merupakan suatu bentuk perbuatan kesyirikan(Syirik akbar).

Begitu pula apabila ada seseorang yang lebih mentaati pendapat yang datang dari pemimpin,Ulamanya,Kyainya, maupun tokoh yang diidolakannya melebihi ketaatannya kepada Allah, serta tidak mempertimbangkannya apakah pendapat yang didapatkannya sesuai dengan perintah Allah ataupun tidak,maka ia telah melakukan tindakan kesyirikan.Terlebih lagi apabila pemimpinnya,Ulamanya,Kyainya,
maupun tokoh yang diidolakannya menetapkan hukum baru yang menyalahi hukum Allah,seperti menghalalkan yang diharamkan oleh Allah maupun mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah,maka selain ia melakukan (Syirik Akbar )ia dalam keadaan tersesat yang sejauh-jauhnya.

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٣١
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan(juga mereka mempertuhankan)Al Masih putera Maryam,padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa,tidak ada Tuhan(yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
(QS. At-Taubah : 31)

Ayat di atas dijelaskan oleh Rasulullah ketika bersama dengan ‘Adiy bin Hatim.

"Dari ‘Adiy bin Hatim, ia berkata :Saya pernah datang kepada Nabi, sedang waktu itu saya memakai kalung salib terbuat dari emas,maka Nabi  SAW bersabda, “Hai ‘Adiy, buanglah berhala itu darimu!”. Dan saya pernah mendengar beliau membaca surat (At-Taubah) Bara’ah (yang 
artinya)

“Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”. 
[QS. At-Taubah : 31]. 

Beliau bersabda,Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu tidak menyembahnya,tetapi mereka itu apabila orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka menghalalkan sesuatu,merekapun menganggapnya halal,dan apabila orang-orang ‘alim dan rahib-rahib mereka mengharamkan sesuatu,merekapun menganggapnya haram." [HR. Tirmidzi juz 4, hal. 341, no. 3093]

Dari Abu Said Al-Khudri Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

ketika seseorang tetap mendekati pemimpin zalim tersebut dan membenarkan apa yang dilakukannya maka ia akan terancam keluar dari lingkaran golongan umat Nabi SAW dan ia tidak akan mendatangi telaganya nanti di hari kiamat.Dari Ka’ab bin Ujroh radhiyallahu ‘anhu  ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar mendekati kami, lalu bersabda:

إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ بَعْدِي أُمَرَاءٌ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهمْ ، فَلَيْسُ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ ، وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ حَوْضِي ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ ، فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَسَيَرِدُ عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta.Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (di hari kiamat).Dan barangsiapa yang tidak  dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (di hari kiamat).” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar