Soal : Ustadz yang terhormat. Saya mau nanya tentang hadits ahad. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hadits ahad bisa digunakan dalam masalah aqidah dan ada pula yang mengatakan tidak bisa, karena tidak menghasilkan keyakinan. Bagaimana sikap para shahabat, dan para ulama tentang hal ini “
Jawaban : Ust. Hafizd Abdurrahman
Sesungguhnya orang-orang awam dari kaum muslimin dan ‘para tokoh Islam’ banyak yang tidak belajar tentang ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu tafsir, bahasa, dan lain-lain. Akibatnya kaum muslimin dan ‘para tokoh’ tadi tidak bisa membedakan antara hadits dhaif dan hadits shahih. Mereka juga tidak bisa membedakan antara hadits maudhu dengan hadits hasan. Mereka juga tidak bisa membedakan antara hadits mutawatir dan hadits ahad, serta sejauh mana berdalil dengan keduanya dalam masalah aqidah dan hukum.
Sikap yang lebih fatal adalah bahwa banyak dari kalangan kaum muslimin yang mempelajari khabar ahad tidak seperti yang dipahami ulama ushul, tetapi hanya dengan dogmatis yang salah, sementara ia hanya mau menerima apa yang diajarkan oleh para kiai dan murid-muridnya atau para pemimpin (dari kalangan haraqah Islam) tanpa pengetahuan yang mendalam dan pemahaman yang jernih. Akhirnya mereka meniru-niru ucapan kiai-kiai maupun pemimpin mereka bagaikan burung kakak tua kemudian menyebarkan kebusukan dan caci maki, serta mencap haraqah-haraqah Islam dengan kekafiran dan murtad dari agama Islam ! Lalu bagaimana pendapat dan sikap para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama terhadap khabar ahad sebagai sumber aqidah ?
Pendapat Dan Sikap Para Ulama Terhadap Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah
Kedudukan hadits ahad dikalangan ulama berbeda-beda, sebagian berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan. Sebagian yang lain berpendapat bahwa khabar ahad bila didukung oleh qarinah-qarinah akan menghasilkan keyakinan, sedangkan yang lain berpendapat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dzan dan tidak mengantarkan kepada keyakinan.[1] Inilah pendapat yang paling masyhur dan dipilih oleh jumhur ulama hadits, fiqih maupun ushul. Akan tetapi para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dan jumhur ulama, kecuali Imam Ahmad, berpendapat bahwa hadits ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan) sehingga tidak bisa sebagai sumber aqidah, senada dengan pendapat jumhur ulama, Imam Asnawy Al-Baghdady, Imam An-Nawawi, Ibnu Shalah, Imam Basdawly, Imam ‘Abd Al-Bar, Imam Al-Ghazali, dan lain-lain.[2] Al-Kasâly menyatakan, “Jumhur fuqaha sepakat bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah amal (hukum syara’) namun tidak dalam masalah aqidah (keyakinan).” [3]
Imam Al-Qarâfiy salah satu ulama tekemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “… alasannya mutawatir berfaedah kepada ilmu (keyakinan) sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan (dugaan) saja.”[4]
menghasilkan ilmu (keyakinan), sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sumber atau dalil dalam masalah aqidah.” [1]
Dr. Rifat Fauziy berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung sampai Rasulullah SAW. Hadits semacam ini tidak menghasilkan aqidah (keyakinan), akan tetapi hanya menghasilkan dzan. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.” [2]
Penolakan Para Shahabat Terhadap Khabar Ahad Sebagai Sumber Aqidah
Para shahabat telah menolak khabar ahad sebagai sumber aqidah, hal ini tercermin dalam sikap para shahabat ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an yang merupakan salah satu pangkal aqidah, dengan mensyaratkan yaitu : mereka mensyaratkan jumlah tertentu yang dapat mengantarkan kepada kepastian, yakni tiga orang (Zaid bin Tsabit dan dua orang lain yang menyaksikan, kadang-kadang Umar ra menggantikan posisi Zaid ra.
Berikut ini uraian tentang contoh-contoh penolakan para shahabat terhadap khabar ahad sebagai dalil aqidah :
Dari jalan Ibnu Sa”ad berkata, “Keduanya duduk dipintu masjid, dan tidaklah seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Qur’an yang disaksikan oleh dua orang yang mereka inginkan, kecuali akan menulisnya. Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashanif dari Yahya bin ‘Abd Al-Rahman bin Hâtib berkata, Umar berkata, “Siapa saja yang menyimpan sesuatu (Al-Qur’an) dari Rasulullah, maka serahkanlah.” Dan Umar ra tidak menerima apapun dari seseorang sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi. Ubaid bin Umair berkata, “Umar tidak menerima satu ayat dari kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan”.” Dalam Shahih Bukhari dan Ibnu Abu Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, “Ketika kami menulis mushaf, saya kehilangan sebuah ayat dari Khuzaimah bin Tsabit “Minal mukminin rijâlun”, sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi, Rasulullah SAW membolehkan persaksian dengan saksi dua orang.”
Imam Al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashanif dan Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Zuhri dalam hadits panjang saat pengumpulan Al-Qur’an, disana disebutkan, “Abu Bakar ra memerintahkan seseorang untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari Al-Qur’an agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini, beritahulah aku !” …Hafidzu ‘ala al-shalawat wa al-sahalaat al-wustha… Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah ra, Hafshah berkata, “Tulislah …Hafidzu wa al-shalat al-wustha wa al-shalat al-‘ashr… Umar ra bertanya, “Apakah kamu punya saksi ?“ Hafshah ra menjawab, “Tidak.” Umar ra berkata, “ Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedang ia tidak punya saksi !”
Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatha”, dan Ibnu Abu Dawud dalam Mashanif dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra berkata, “Telah turun ayat tentang 10 kali (isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian kami hapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah SAW meninggal, sedangkan beliau (‘Aisyah) menyatakan ia adalah Al-Qur’an.” Namun tak seorang shahabat yang memperhatikan riwayat ini dan merekapun tidak menulisnya di dalam mushaf Imam. Al-Mazâriy berkomentar atas khabar dari ‘Aisyah ra tersebut, “Tidak ada hujjah di dalamnya, karena riwayat ini tidak ditetapkan kecuali dengan jalan ahad, sedangkan Al-Qur’an tidak ditetapkan dengan riwayat ahad (harus muatawatir).”
Ibnu Abu Dawud meriwayatkan dalam Mashanif, Al-Hâkim dan selain keduanya dari mushafnya Ubay bin Ka’ab pada ayat tentang kifarah (denda) budak disebutkan, “Fa shiyâm tsalâts ayâm mutatabi”aat fi kifârat al-yamîn.” (berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamîn). Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushaf Imam, sebab riwayat ini merupakan khabar ahad, sebagaimana contoh riwayat-riwayat sebelumnya.
Imam Ahmad, Al-Hâkim dari Katsir bin Shalat berkata, “Adalah Ibnu Al-‘Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushaf, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, As-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya (kakek dan nenek jika berzina). Umar ra berkata, “Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika tidak muhshan akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina dan ia muhshan maka dirajam.” Dalam riwayat Muwatha’ Umar ra berkata dalam khutbahnya, “Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa Umar bin Khathab telah menambah kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya. Akan tetapi riwayat ini tidak dimasukkan sebagai ayat Al-Qur’an karena merupakan khabar ahad, sedangkan Al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat yang mutawatir.”
Berdasarkan ijma’ qath’iy dari para shahabat ra, untuk tidak mengambil khabar ahad dan dzanniy untuk menetapkan salah satu rukun dari rukun-rukun aqidah yakni Al-Qur’an yang membangun seluruh rukun aqidah Islamiyah, maka tidak ada tempat lagi bagi pendapat yang menyatakan kemungkinan membangun aqidah di atas keraguan (dzan) semisal khabar ahad. Ijma’ shahabat telah meluluhlantakkan pendapat dan propaganda yang menyatakan khabar ahad dapat untuk dijadikan sebagai dalil aqidah.
Siapa yang berpendapat bahwa khabar ahad membawa implikasi iman (keyakinan), sesungguhnya ia telah menuduh shahabat-shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat mengurangi dan menambah kitabullah. Sebab para shahabat Rasulullah SAW tidak mencantumkan riwayat-riwayat ahad (yang diklaim sebagai Al-Qur’an) kedalam mushaf Imam yang wajib kita yakini keotentikannya. Pendapat diatas juga membawa implikasi bahwa para shahabat telah melakukan kesalahan dalam masalah ushuluddin, padahal mustahil bagi mereka bersepakat untuk melakukan kesalahan dan kesesatan. Sungguh, Al-Qur’an dan sunnah telah menjamin keadilan mereka.
Dengan demikian madzhab yang menerima dzan dan khabar ahad dalam aqidah adalah madzhab bathil dan asing, dan harus ditinggalkan karena pendapat ini telah bertentangan dengan jumhur kaum muslimin baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Mereka sepakat bahwa khabar ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja tidak menghasilkan keyakinan sehingga tidak bisa sebagai dalil aqidah.
Kesimpulan
Aqidah harus ditetapkan dengan dalil-dalil yang mutawatir, sebab kalau keimanan boleh ditetapkan dengan dalil-dalil yang dzan (hadits ahad) tentu hal ini bertentangan dengan ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan Al-Qur’an dan mushaf Imam dan juga pendapat jumhur kaum muslimin baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Dengan mengatakan khabar ahad wajib menjadi dalil aqidah sama artinya meyakini Al-Qur’an (mushaf Utsmani) tidak lengkap karena banyak riwayat ahad diklaim Al-Qur’an namun riwayat-riwayat tersebut oleh para shahabat tidak dicantumkan ke dalam Al-Qur’an (mushaf Imam). Beranikah anda mengklaim bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul telah sesat karena tidak mengambil khabar ahad sebagai dalil aqidah ?
Imam Ahmad menyatakan, “Tanda yang menunjukkan dangkalnya ilmu seseorang ialah bertaqlid kepada orang lain dalam masalah aqidah.” [1]
Sebagai penutup tulisan ini renungkanlah hadits Rasulullah SAW yang menyatakan :
“Jika seorang laki-laki berkata kepada saudaranya : Wahai kafir !” Kemudian dibalas oleh yang lain, maka kafirlah keduanya.” [HR. Bukhari, Imam Ahmad dan Ibnu Hanabal]
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Imam Ibnu Jauzi, Talbis Iblis, hal 82.
[1] Hafidz Tsana Al-Allah Al-Zaahidy, Taujih Al-Qaariy ila Al-Qawaa’id Al-Ushuuliyyah wa Al-Haditsiyyah wa Al-Isnaadiyyah fi Fath Al-Baariy, hal 156.
[1] Lihat Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, bab Aqidah.
[1] Al-Kasaaly, Badaai As-Shanaai, juz 1, hal 20.
[1] Al-Qasaamiy, Qawaa’id At-Tahdits, hal 137-138.
[1] Al-Qasaamiy, Qawaa’id At-Tahdits, hal 137-138.
[1] Dr. Rifat Fauziy, Al-Madkhal ila Tautsiiq AS-Sunnah, ed 1, th 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar